Kali ini Miranda tak menyia-nyiakan kesempatan meluapkan kekesalannya. Tanpa ba, bi, dan bu, dia mengajak Kikan ketemuan di salah satu kafe. Kali ini Miranda sengaja datang terlambat. Alasannya sederhana: Malu.
Oke, dia tak ingin tertimpa kesialan. Misal, ditabrak cowok yang tidak mengingatmu. Catat, sama sekali. Sakitnya tidak seberapa, tapi malunya. Aduh, cewek mana pun pasti akan dengan senang hati menjejalkan sepatu ke mulut James. Jejal, jejal, dan dorong dengan sepenuh jiwa. "James, kamu tuh sialan banget! Tega, ya, mempermalukanku. Dua kali!"
Tentu saja itu hanya terjadi di mimpi Miranda. Wanita itu hanya bisa melampiaskan kekesalannya dengan cara berdoa semoga ia tidak perlu (amin), berjumpa dengan James. Sampai kapan pun!
"Miranda, kamu banget, ya?" Kikan menunjuk deretan meja bundar yang diisi pasangan remaja "tanggung" dan remaja "yang akan melewati masa tanggung". "ABG," lanjutnya. "Kamu sehat, 'kan?"
"Sehat," sahut Miranda sembari mengaduk kopi. Dia bahkan nggak mau repot-repot menawari Kikan untuk minum. Sorry, ya. Dia masih marah. "Gimana?"
"Jadi, rencananya ada PH yang minat bikin film dari novelmu. Nah, masalahnya kamunya mau enggak?"
Miranda sepertinya mulai terobsesi mengaduk kopi tanpa berniat meminumnya. "Enggak usah aja."
"Loh, kenapa? Kesempatan bagus kok disia-siain. Kamu nih, banyak orang yang susah payah pengin ngetop lewat tulisan. Kamu hitung berapa banyak lomba novelet, tambahkan dengan penulis yang dilirik dari blog dan sebagainya. Dan itu semua belum termasuk artis, Nda."
"Enggak aja deh," kata Miranda.
Kikan bersidekap, matanya menatap telak ke Miranda. "Kenapa?"
"Aku malas."
Eng, ing, eng. Sungguh pencapaian yang luar biasa Kikan tidah berubah wujud menjadi Hulk. Wanita itu sungguh dengan senang hati menggampar Miranda, kanan dan kiri biar sempurna. Di antara sekian jawaban yang bisa dipikirkan, ia tak pernah menyangka akan mendengar alasan "picik".
"Miranda, apa yang kamu takutkan?"
Kali ini Miranda menaruh sendok teh di samping cangkir. "Kasih ke penulis lain, Kan."
Kikan sebenarnya tidak suka dipanggil "Kan" karena menurutnya itu seperti kependekan dari "ikan". "Yakin?"
Miranda mengangguk. "Seratus persen."
"Ya sudah. Awas aja kalau nyesel."
***
Miranda sama sekali tak menyesali keputusannya menolak tawaran Kikan. Selama ini ia hanya berpikir mengenai cara meluapkan perasaannya. Dan untuk selebihnya, tidak perlu. Di salah satu toko buku, wanita itu sibuk memandang deretan buku baru. Sastra, puisi, novelet, bahkan filsafat. Kesemuanya belum ada yang bisa menarik perhatiannya. Oleh karena itu, akhirnya ia memutuskan keluar dan entah mengapa kakinya langsung mengarahkan Miranda ke sebuah tempat.
Kedai roti yang dahulu didatangi Miranda bersama Morgan.
"Mira, kamu pengin ngelanjutin kuliah di mana?"
Morgan dan Miranda duduk di dalam kedai, berhadap-hadapan.
"Entahlah," Miranda menjawab. "Mungkin di Jawa Tengah atau Yogyakarta."
Morgan meneguk teh hingga tandas. "Eh, jangan. Prancis atau Italia. Kamu tahu, 'kan, Davinci, Picaso. Di sana lebih banyak sumber yang bagus."
"Kamu lupa, huh? Di sini juga banyak pelukis terkenal."
"Atau kamu ke Inggris saja?"
"Morgan, aku nggak pengin ke sana."
"Gimana kalau Jerman?" Morgan ngotot, tidak menyerah.
"Oke," kata Miranda, melipat tangan di meja. "Kamu sendiri gimana?'
Morgan mengetuk-ngetuk ujung dagunya. "Aku pengin ke Prancis. Sartre. Being and Nothingness."
"Segitu parahnya ampe nggak bisa nentuin eksistensi?"
"No, no," kata Morgan sembari menggoyangkan jari telunjuknya. "Manusia yang tak memiliki rasa keingintahuan berarti sudah rusak," katanya menunjuk pelipis. "Di sini. Kamu tahu, enggak? Banyak hal remeh yang selama ini kita abaikan. Adanya sih manusia yang 'sok tahu' mengenai kehidupan orang lain padahal sih nol besar. Mereka Cuma 'merasa tahu' itu saja."
"Segitu parahnya?"
Morgan mengangguk. "Tenang, Mira. Aku tetep peduli ke kamu kok."
Namun pada akhirnya ketidaktersuterangan menghancurkan hubungan di antara mereka. Sejak awal hubungan mereka dibangun di atas permukaan es. Dan sekalinya kebenaran muncul, Miranda memilih untuk melarikan diri.
Dia tidak sanggup menghadapi kenyataan.

KAMU SEDANG MEMBACA
With You... (TAMAT)
ChickLitGimana rasanya bertetangga artis setenar James? Miranda mencoba peruntungan asmara. Kali ini dia tidak akan kalah membuktikan diri sebagai "warga Indonesia yang bahagia". Satu-satunya masalah ialah, tidak ada cowok yang bisa membuat Miranda melupaka...