Empat

2.7K 284 0
                                    

Sebenarnya Miranda tak ingin menjumpai Kikan, editornya. Wanita yang berjasa mengantarkan si Pena Biru meluncur ke masyarakat dalam wujud novel. Manusia yang kemungkinan bahasa Nayla-sahabat baik Miranda dalam "sukacita saja"- bisa diterjemahkan sebagai "pembasmi kebahagiaan dan penghancur rasa percaya diri". Nay, nay, nay. Miranda bukan termasuk manusia yang gampang untuk dijatuhkan. Prinsipnya, "sebelum digigit lebih baik gigitlah duluan lawanmu". Atau biasanya Miranda saat tak ingin menjumpai atasan yang sejenis dengan Herder maka dia akan langsung mengumpakan-sekali lagi tanpa mengurangi sopan santun-Nayla kepada atasannya. Omong-omong, Miranda berjasa besar dalam menghapus status jomlo yang tertera di jidat sahabatnya yang penggemar Korea. Ibarat kanker, kemungkinan besar Nayla sudah masuk stadium empat.

Miranda melajukan mobil di antara kendaraan lainnya yang mulai mengejar waktu. Sesekali sepeda motor menyerobot jalan, dan Miranda hanya menatap tajam nomor plat si pengemudi. Berbagai pilihan yang kemungkinan besar akan dia ambil di antara lain:

Satu, Miranda akan mendoakan si pengemudi agar segera sadar dan lebih menghargai keselamatan pengguna jalan lainnya. "Hei, jalan bukan milik nenek moyangmu!" Miranda pernah menggertak pengemudi sepeda motor. Ulala, pengemudi itu hanya terdiam (kemungkinan besar menatap takjub) lalu kemudian dia mencoba meminta nomor ponsel Miranda.

Dua, Miranda akan mencari polisi. Yup, tilang lebih kejam daripada ibu tiri.

Tiga, abaikan saja.

Pilihan terakhirlah yang diambil Miranda. Setelah menghela napas satu kali, wanita itu mencoba menurunkan tingkat emosi seminim mungkin. Oh, dia tentu tidak ingin seseorang mengambil videonya dan memasukkannya ke instagram atau youtube dengan judul "amukan wanita cantik terhadap pengemudi motor".

Tidak. Perlu.

Hidup di dunia ini sudah cukup rumit bagi Miranda. Dia tak perlu menambah sejumlah masalah ke dalam catatan hidupnya.

Sekali lagi, tidak perlu.

Tak sampai beberapa menit Miranda sampai di tujuan. Kikan mengajak Miranda janjian di salah satu restoran yang ada di pusat perbelanjaan. Yah, tentu saja Miranda tidak bisa protes. Editornya terlanjur jatuh cinta dengan Red Velvet yang disajikan di sana, maka layaknya prajurit yang mematuhi komandannya, " Yes, Sir! " tanpa protes ... tanpa protes!

Parkir mobil, oke. Tidak ada masalah. Miranda cukup parno perihal parkir di pusat perbelanjaan. Entah mengapa mobil-mobil yang berjejer di sekitarnya itu terasa bagai raksasa pemakan anak kecil. Voila , pikiran Miranda mulai menunjukkan keahliannya dalam menciptakan monster imajinatif.

Menggelengkan kepala, Miranda memilih untuk mengabaikan pikiran konyolnya. Segera saja dia keluar dan mengunci mobil. Sekali lagi, utamakan keselamatan. Hari ini Miranda memilih mengenakan celana jins biru dengan kardigan merah muda. Dia tak perlu memusingkan penataan rambut. Rambutnya hanya memerlukan sisiran jari, beres.

Bak pragawati, Miranda melangkah penuh percaya diri. Melewati parkiran, menuju lalu-lalang manusia; penjual teh poci, anak-anak SMA yang mulai saling memuji, dan tatapan laki-laki yang langsung tertuju ke Miranda. Wanita itu memilih langsung masuk ke restoran yang dimaksud.

Meja-meja diisi oleh pengunjung, internit didominasi warna cokelat, beberapa pelayan yang mengenakan celemek hitam mondar-mandir mencatat dan mengantarkan pesanan, dan lagu Cameo Lover menjadi tema musik. Miranda mengedarkan pandang, mencari kehadiran Kikan. Wanita itu tidak ada di mana pun. Atau..., belum ditemukan. Minggu, oke! Tak bisakah editornya memilih hari lain untuk bertemu? Minggu, Sunday, hari matahari; merupakan hari sakral untuk melepaskan kepenatan yang diberikan Senin hingga Jumat. Bila Miranda adalah elf penghuni gunung suci, maka dia akan dengan senang hati mengarahkan panah ke jantung editornya dengan harapan akan mengusir kegelapan.

Salah seorang pelayan menghampiri, "Ada yang bisa dibantu, Mbak?"

Miranda menggeleng. "Tidak perlu," jawabnya. Lalu, dia mulai melangkah sembari berharap menemukan editornya yang akan melambaikan bendera bertuliskan "aku ada di sini!"

Mata Miranda menangkap kehadiran dua sosok lelaki yang tengah bercakap. Pria itu bangkit, bermaksud meninggalkan meja. Namun brukk!

***

"James, kapan kamu nemuin Mama?"

James duduk berhadapan dengan Felix, sang kakak, sembari mendengarkan bermacam wejangan. Satu, kabar. Oh tentu, sebagai kakak yang baik Felix harus mencari tahu keadaan adiknya terlebih dahulu. Dua, langsung ke inti masalah. Kebetulan Felix merasa adiknya sudah lebih dari cukup untuk dimintai pertanggungjawaban. Alhasil James hanya bisa menjawab dengan segaris senyum manis ala iklan pasta gigi.

"James," Felix menekankan telunjuknya ke kening, mencoba meredakan denyut migren yang mungkin akan menyerang. "Kamu, kan, tahu kalau Mama nggak akan ngizinin aku nikah kalau kamu belum dapat pasangan. Beliau takut kamu jadi perjaka tua, nggak laku."

James mengedikkan bahu. "Gimana kalau Mas yang nikah duluan?"

"Nikah duluan gimana? Syaratnya itu kamu ketemu jodoh baru aku diizinin."

"Kan dulu aku pernah ngajak Cherry."

Felix meringis mengingat wanita bernama Cherry. Kinanti, ibunda Felix, kembang kempis mendapati calon menantunya adalah wanita yang gemar mengenakan pakaian berpotongan ala kadarnya. Kinanti sampai mewanti-wanti Felix agar James segera memutuskan kekasihnya. Dan tanpa perlu dikomando James merasa bosan dan memilih mengakhiri hubungannya. "Dia nggak dihitung."

"Mas, aku, kan, masih sibuk. Ada banyak pemotretan, pameran baju, dan iklan."

"Alasan," Felix mendebat. "Dara bisa-bisa ninggalin aku, James."

"Mas, kalau udah komitmen sehidup dan semati, nggak perlu takut doi dijambret orang."

"Cewek itu butuh kepastian, James. Nggak semudah omonganmu."

"Ya sudah," kata James, enteng. "Berarti nggak jodoh."

James bangkit, bermaksud meninggalkan Felix. Pria itu tak memperhatikan sekitar hingga sikunya menyenggol seseorang.

Sialnya seseorang itu mulai mengumpat.

"James, karma."

With You... (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang