Thirty-five (END)

787 105 53
                                    

Yuna yang tengah berbicara dengan Angga dan Jeffrey di depan sana menjadi objek pandangan Jeka saat ini. Meski kadangkala Jeka menutup wajahnya dengan buku menu apabila Yuna melirik curiga kearahnya, ia tetap mencuri kesempatan untuk memandang gadis itu.

Kini Jeka sadar bahwa memandangi Yuna adalah hobi barunya, dan ia sangat menyukai setiap lekuk wajah Yuna yang nampak sempurna baginya.

Ternyata mencintai sahabatnya sendiri membuat Jeka merasa dirinya sudah gila, rasanya aneh saat jantung Jeka berdetak cepat hanya karena memandangi Yuna dari kejauhan, padahal dulu tidur bersama Yuna saja jantung Jeka tidak bertalu-talu seperti ini.

Jeka mengacak rambutnya sendiri, frustasi karena tak bisa berada bersama Angga dan Jeffrey untuk berbicara dengan gadisnya.

Alhasil Jeka hanya bisa meratapi nasib sambil tetap memperhatikan tiga orang yang berarti dalam hidupnya itu, sesekali ia mengernyitkan dahi dan berusaha mempertajam pendengarannya agar ia bisa mendengar isi obrolan Yuna, Angga, dan Jeffrey yang nampak serius itu.

Sampai pada titik dimana Angga tiba-tiba emosi, Jeka bisa menebak bahwa ada yang salah dengan obrolan ketiga temannya itu.

"Gue minta maaf Jeff, Ga. Gue nggak bermaksud bikin lo berdua kecewa, tapi gue tetep nggak bisa ngubah keputusan gue." Ucapan yang terlontar dari bibir Yuna itu terdengar oleh Jeka meski samar-samar, dan membuatnya seketika menegang, apalagi saat kata-kata selanjutnya kembali terdengar oleh lelaki itu.

"Gue harus pergi—"

"APA-APAAN INI? LO MAU PERGI KEMANA HAH?!" Tiba-tiba saja kaki Jeka melangkah sendirinya menuju Yuna, dan bibirnya mengucap ungkapan tak percaya dengan nada tinggi pada gadis itu, menuntut jawaban atas tanya yang bergejolak dalam pikirnya.

Sementara Yuna langsung tersentak saat Jeka tiba-tiba berada dihadapannya dan membentak dirinya dengan ekspresi marah.

Yuna tak pernah menyangka Jeka berada disini, karena itu ia tak menyiapkan diri untuk bertemu Jeka.

"JAWAB JUY!" Jeka kembali menaikkan nada suaranya, membuat Yuna menundukkan kepala takut.

"Kalem, jangan emosi. Lo nakutin Yuna, gak usah pake bentak-bentak segala." Jeffrey bangkit dari duduknya kemudian menahan bahu Jeka.

Jeka menepis tangan Jeffrey dibahunya kemudian menatap tajam lelaki itu, "Lo pikir kalo lo ada di posisi gue saat ini lo bisa kalem hah?!"

"Oke gue ngerti, tapi tetep jangan bawa-bawa emosi, gue sama Angga bakal kasih waktu buat lo ngobrol sama Yuna." Kata Jeffrey kemudian melirik Angga dan mengisyaratkan pada lelaki itu untuk pergi meninggalkan Yuna dan Jeka berdua.

Angga melirik Yuna sekilas kemudian mengangguk, lelaki itu pergi ke luar cafè tanpa berkata apa-apa lagi.

Jeffrey menepuk bahu Jeka, "Gue tinggal lo berdua sama Yuna, bicarain baik-baik tanpa emosi." Ujarnya kemudian menatap ke arah Yuna, "Gue sama Angga ke depan dulu, Yun."

Yuna mengangguk pelan, kemudian Jeffrey pun pergi menyusul Angga.

Kini tersisa Jeka dan Yuna di dalam cafè, dengan Jeka yang duduk dihadapan Yuna sambil menatap gadis itu dengan tatapan yang sulit diartikan.

Perasaan marah, takut, sedih, dan khawatir bersatu padu dalam diri Jeka saat ia menatap Yuna yang masih menundukkan wajahnya.

"Juy," panggil Jeka, suaranya kini melembut.

Yuna mendongak, menatap Jeka takut-takut. Hatinya mencelos saat kini netranya kembali bersibobrok dengan manik gelap milik Jeka, yang sudah lama ini selalu dirindukannya.

Location Unknown✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang