Fifteen

451 94 24
                                    

Yuna baru saja sampai dirumahnya—ralat, rumah Jeka, saat gadis itu mendapati sepasang sepatu yang dikenalinya berada di teras. Dengan perasaan cemas, ia membuka pintu rumah kemudian memasukinya.

"Yuna pulang—" kata-kata Yuna terpotong begitu saja saat netranya menangkap sosok Jonathan tengah mengobrol dengan Nathalie di ruang keluarga.

Benar saja firasat Yuna, sepatu itu memang milik ayahnya.

Mendengar suara Yuna, atensi kedua orangtua yang tengah mengobrol tersebut teralihkan.

"Baru sampai ya sayang? Ganti baju terus makan dulu sana, nanti kita ngobrol disini bareng Ayah, ada yang harus disampaikan ke Yuna katanya." Ucap Nathalie.

"Gapapa Bu, omongin sekarang aja." Balas Yuna.

Gadis itu pun mendekat pada Nathalie lalu duduk disampingnya, enggan menatap Jonathan yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik sang anak dengan ekspresi penuh penyesalan.

"Karena Yuna mau ngobrol sekarang, mungkin kita lanjut saja ya Mas obrolan yang tadi sempat tertunda." Ucap Nathalie pada Jonathan.

Jonathan mengangguk, "Yuna, ada yang mau Ayah bicarakan sama kamu. Tolong lihat Ayah sebentar." Pinta Jonathan, tanpa sedetik pun mengalihkan tatapannya dari Yuna.

Yuna tak merespon. Gadis itu masih terdiam sambil menunduk, mati-matian menahan emosi yang mulai bergejolak dalam hatinya.

Mengerti dengan situasi yang kini terjadi, Nathalie merangkul bahu Yuna dan mengusapnya dengan lembut, "Sayang, jangan nunduk begitu, nggak baik. Katanya mau ngobrol kan? Kalau ngobrol itu harus menatap lawan bicara, jadi jangan nunduk lagi ya, tatap Ayahnya."

Yuna menurut. Gadis itu berhenti menunduk, dan kini menatap tepat ke manik mata sang Ayah.

"Mau ngomong apa? Kenapa baru sekarang? Kemarin-kemarin kemana aja Yah?" Tanya Yuna pada Jonathan dengan nada suara setenang mungkin, meski tetap saja terdengar sarkas.

Pertanyaan dari Yuna sukses membuat Jonathan semakin merasa bersalah.

"Ayah minta maaf, Yuna. Apa yang Ayah lakukan ke kamu sudah sangat keterlaluan, Ayah menyesal."

"Maaf memang gampang, Yah. Tapi luka hati Yuna karena Ayah nggak bakal bisa hilang gitu aja dengan kata maaf."

"Ayah tau, karena itu Ayah nggak akan maksa kamu untuk maafin Ayah. Ayah hanya ingin menyampaikan bahwa Ayah menyesal sudah berkata kasar sampai mengusir kamu dari rumah. Jocelyn juga menyampaikan kata maaf jika kamu merasa sikapnya buruk pada kamu, dan maaf Ayah tidak bisa membawa dia kesini untuk langsung meminta maaf karena dia sedang sakit. Yuna, Ayah ingin kamu kembali ke rumah. Kata-kata Ayah saat itu tidak benar-benar serius, Ayah hanya terbawa emosi. Kamu mau kan pulang lagi ke rumah bareng Ayah?" Jonathan akhirnya menurunkan semua ego dalam dirinya untuk mengungkapkan maksud hatinya dengan tulus.

Yuna kembali terdiam, memikirkan semua kata-kata ayahnya yang terasa tidak nyata tersebut. Ia ragu bahwa kata maaf dan penyesalan Jonathan hanya formalitas belaka agar ia luluh dan kembali ke rumah lagi.

"Kalau pulang, Yuna masih belum bisa. Trauma yang Ayah dan Jocelyn sebabkan terlalu nyata bagi Yuna, sampai-sampai kalau boleh jujur, Yuna lebih memilih untuk tinggal disini sama Ibu, Papa, dan Jeka. Mereka semua selalu jadi sosok keluarga yang hangat untuk Yuna, dan hal itu nggak pernah Yuna dapetin di rumah Yuna sendiri."

"Tapi kamu harus—"

"Nggak apa-apa. Biarkan Yuna disini dulu, Mas Nathan gak bisa maksa Yuna untuk pulang saat ini. Pelan-pelan ya Mas? Kamu juga harus coba mengerti kemauan anakmu." Nathalie memotong ucapan Jonathan.

Location Unknown✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang