Bab 28

118 20 0
                                    

Hari cerah, aku duduk di taman Gedung Pertemuan Mulia. Suasana sore ini cocok untuk santai-santai. Angin bertiup. Langit berawan sehingga tidak terlalu panas. Dari tempatku duduk, aku bisa melihat topiari dan semak bunga di taman gedung. Situasi ini sama sekali tidak mendukung suasana hatiku.

Setelah menyelesaikan bagianku di atas panggung, aku tadi duduk di bangku peserta. Guruku menyalamiku, memuji penampilanku. Kutahu kalau beliau cuma basa-basi demi perasaanku. Aku duduk menonton peserta lain dan mulai mendapatkan firasat. Kalah. Oh, bukan berarti penampilanku kacau. Aku tidak gugup atau pucat di atas panggung tadi. Cuma... apa yang kulakukan tidak luar biasa. Setelah mendengarkan pidato-pidato dari kontestan lain, aku tahu aku tidak akan menang. Kulirik guruku, memperhatikan reaksi beliau. Saat ada peserta yang benar-benar bagus, aku menyadari betapa berbedanya reaksi guruku dan para juri. Mata dan otakku masih berfungsi. Sambil bertepuk tangan setengah hati, aku mulai mempersiapkan diri menerima kenyataan yang akan terjadi.

Lomba selesai. Para juri membutuhkan waktu untuk menggabungkan penilaian dan menentukan pemenang. Di atas panggung, selagi menunggu proses penghitungan selesai, band undangan tampil. Panitia juga mengundang para peserta dan pendamping dari sekolah untuk makan di area samping tempat lomba.

"Makan?" Guruku beranjak ke area tempat konsumsi.

Aku menggeleng. "Masih kenyang, Pak. Tadi saya baru makan cemilan."

Beliau berlalu, meninggalkan aku sendiri.

Aku tidak nafsu makan.

Kunyalakan ponsel dan membaca pesan-pesan yang masuk. Ada pesan dari Dina. Isinya standar menyemangati dan pengingat untuk memberitahu hasil lomba begitu juri mengumumkan. Suara vokalisnya biasa saja. Aku tidak terlalu kepingin menonton jadi aku menghabiskan waktu dengan bermain game di ponsel.

Satu game.

Dua game.

Masih belum juga ada tanda-tanda. Aku berhenti main dan mulai memperhatikan sekeliling. Ah, rasanya aku pernah lihat anak itu. Mungkin di lomba sebelumnya. Waktu dulu dia... eh, aku tidak salah lihat, kan? Aku berusaha melihat sekelebat sosok yang kukenal.

Kevin?

Aku kurang cepat. Sosok yang kupikir Kevin sudah tidak ada.

Ah, kamu salah lihat. Ucapku pada diriku sendiri. Ini semua hidupku selalu berputar di sekeliling cowok itu. Apalagi dengan drama kemarin. Anggap saja ini seperti pecandu narkoba yang sedang pelan-pelan lepas. Ada saat dimana dorongan untuk kembali ke kesalahan yang sama muncul begitu hebat. Anggap saja aku halusinasi karena belum benar-benar lepas dari Kevin.

Pasti.

Pasti itu yang terjadi.

Band di depan selesai tampil. Pemandu acara mulai membuka sesi pengumuman. Kata-kata sambutan. Kilas balik dan dokumentasi pemenang-pemenang sebelum. Pemandu acara mengeluarkan segala macam cara tidak penting untuk meningkatkan suspens. Aku benci mengakuinya tapi trik itu cukup membuatku ikut berdebar-debar menunggu.

Juara harapan dibacakan.

Juara tiga.

Juara dua.

Juara satu.

Aku tidak dipanggil. Persis dengan dugaanku. Meskipun aku sudah mempersiapkan diri untuk kalah, aku tidak bisa tegar. Aku kecewa. Kulihat guruku menghampiri tempatku duduk, menyelip di antara orang-orang yang saling bersalaman dan berfoto. Tidak ingin mendengarkan kalimat hiburan, aku buru-buru pergi.

Rasa kecewa sekarang berubah menjadi marah. Aku kesal pada diriku sendiri. Naskah pidato tadi kutulis dengan persiapan yang sangat singkat. Aku tahu aku tidak memberikan yang terbaik. Yeah. Aku aneh. Persiapanku tidak total tapi aku sedih karena kalah.

Diam-Diam SukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang