Bab 17

132 23 0
                                    

Acara training selesai dan kami pulang di hari minggu. Di depan sekolah, aku meminta Damar untuk mengantarkan koper Aurora dan Lisa ke rumah Aurora. Damar tidak berkomentar macam-macam. Dia tidak bertanya kenapa dia yang kumintai tolong, bukan Kevin. Dia juga tidak penasaran saat Dina terus mengomel.

Damat cuma menaikan alis mata yang lalu kubalas dengan gelengan pelan. Dia mengangguk lalu mengambil alih barang-barang Lisa dan Aurora.

Dina dan Damar pulang bareng. Aku diantar Kevin hingga ke depan pagar. Dia kembali seperti Kevin yang biasanya.

"Mau mampir dulu, Vin?" Kataku sambil mencari kunci di tasku. "Minum atau ketemu Mama?"

Kevin menggeleng. "Mending istirahat, Gi. Kamu juga pasti capek banget."

Aku memain-mainkan kunciku.

"Kenapa?" Tukas Kevin jahil. "Enggak rela pisah?"

Aku mendekat, memasuki area personal Kevin. Kepalsuan Kevin sedikit goyah. Dia sedikit menelengkan kepala. "Gi?"

Aku nekat. Kupeluk Kevin. Kedua tanganku mengelilinginya. Jemariku saling mengunci, menekan Kevin dalam pelukanku.

Kevin kaget. Badannya sedikit kaku.

"Yang kuat ya, Vin." Kataku lirih. "Aku enggak bisa bilang ngerti perasaanmu karena aku enggak mengalami. Tapi aku pengin kamu kuat."

Kepura-puraan Kevin luruh. Dia gemetar, membalas pelukanku dalam pelukan erat. Kevin menyembunyikan mukanya di antara leher dan bahuku. Napasnya mengenai kulit.

Aku sedikit berjinjit, menunjukan dukungan pada Kevin yang tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Aku memanjatkan doa-doa agar Kevin bahagia selalu.

"Makasih, Gi." Bisiknya pelan di telingaku.

"Yang kuat, Vin." Balasku.

Setelah itu Kevin melepaskanku. Dia menungguku masuk ke dalam. Aku menutup pintu. Sebelum tertutup, aku melambaikan tangan. "Hati-hati."

Kevin tersenyum. Dia mengangguk.

Aku ke kamar, merapikan segala macam bawaanku. Kukeluarkan baju kotor, peralatan mandi, kabel charger, sendal, dan... kantong rias Lisa.

Aku duduk di kasur, memegang barang milik Lisa. Setelah beres-beres, aku dan Dina kehabisan tempat menyimpan bawaan Lisa dan Aurora. Aku memasukan sebagian ke tasku.

Kantong ini tidak terbawa Damar.

Aku teringat bagaimana Lisa kaget melihatku memergoki dia. Wajahnya yang kaget berubah menjadi malu. Lisa kelihatan rapuh saat Kevin tidak membalas pertanyaannya. Aku tidak mampu menghapus ingatan tentang Lisa yang menangis.

Kumasukan kepunyaan Lisa ke dalam tas sekolah. Akan kukembalikan padanya langsung. Kalau ketemu nanti, aku akan bilang Lisa tidak perlu takut. Mulutkku tertutup rapat. Aku bisa menjaga rahasia.

Sayangnya, rencanaku tidak berjalan mulus. Keesokan hari saat aku mampir ke kelas Lisa, teman sekelasnya bilang Lisa tidak masuk.

Aku mencoba mencari Aurora. Dia juga tidak ada.

Kubawa lagi kantong itu ke rumah.

Kebesokannya, aku mencoba lagi. Aku datang ke kelas Lisa dan Aurora. Mereka berdua masih belum masuk. Hari setelahnya dan setelahnya, mereka masih bolos.

Aku terpikir untuk menelepon Lisa dan Aurora namun firasatku melarang. Kalau Lisa dan Aurora butuh waktu, aku tidak akan menganggu.

Pada hari kelima, Aurora dan Lisa masuk sekolah. Kemunculan mereka menjadi pembicaraan. Mayoritas siswa penasaran dan haus gosip. Tiga hari berturut-turut cukup untuk membuat wali kelas Aurora dan Lisa datang ke rumah. Lisa memasukan surat sakit sementara Aurora hanya bilang dia bosan sekolah lalu menjaga Lisa yang sedang sakit.

Diam-Diam SukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang