Bab 20

215 26 2
                                    

"Gia." Pintu membuka. "Kamu enggak kenapa-kenapa, kan? Aku dengar teriakan... oh." Dina berhenti. Di belakangnya, Damar dan Kevin bertubrukan karena Dina berhenti.

Seberapa keras suaraku sampai mereka bertiga datang untuk mengecek. "Bukan, apa-apa. Cuma sedang mengobrol."

Aurora tidak ikut menjawab.

"Um, oke." Dina masuk. Sebagai orang yang selama ini ada di dekatku dan sedikit banyak mendengar pendapatku tentang Aurora dan kelompoknya, Dina tahu aku tidak punya kesamaan yang cukup dijadikan bahan pembicaraan. "Lama banget ngambil minum doang." Dina masuk ke dalam dapur.

Ujung-ujung jemariku kebas. Kalimat terakhir Aurora membuatku cemas. Keraguan yang tadinya kutekan kembali meledak.

Aurora tahu tentang dosaku.

Kevin dan Damar ragu-ragu sebelum akhirnya ikut masuk. "Kita mau bantu bawa minum." Mereka mengambil botol-botol di meja yang jumlahnya tidak seberapa.

Dalam situasi normal, aku mungkin akan tertawa tapi situasi di dapur tegang. Tiga orang ini tidak beranjak. Mereka menungguku.

"Eh, Gi. Bantu dong." Kevin menyodorkan satu botol soda. "Tanganku pegal." Dengan mata, dia memberi kode agar aku pergi ke luar.

Aurora menghentikan upaya Kevin. "Gi, kita belum selesai."

Dina mengambil tempat di sampingku.

"Kapan-kapan aja, Ra." Damar mengambil tempat sedikit di depanku, pertanda perlindungan. "Masih bisa besok di sekolah."

Aurora bersidekap, menantangku.

"Kayaknya kamu belum coba..." Kevin terlihat mengarang-ngarang, "popcorn, Ra. Kamu harus cicip. Ini pop corn paling enak sedunia."

"Aduh, Ra." Dina tidak sabar. "Kayaknya kamu enggak bisa dibilang baik-baik. Harus pakai cara kasar. Begini, ini pesta Kevin dan cuma buat orang-orang yang dekat dengan dia. Kamu datang saja sudah cukup parah. Kami berbaik hati untuk menjamu kamu. Sekarang, kamu bikin masalah dan tontonan. Jadi, lebih baik kamu pergi."

"Wow." Aurora tertawa. Dia terbahak-bahak hingga kami tidak nyaman. "Lucu sekali. Kalian memang sahabat baik. Apa yang kamu bilang tadi kurang lebih sama seperti yang Gia ucapkan."

Dina menunjukan ekspresi sebal.

"Memang benar kata orang. Orang yang mirip itu cocok untuk gabung bareng-bareng." Kilat berbahaya dan gila muncul di mata Aurora. "Kesempatan terakhir, kamu mau bilang atau tidak?"

Bibirku terasa kering. Aku memandang Kevin yang mengerutkan dahi padaku. Aku memandang Damar dan Dina. Aku teringat janjiku pada Lisa.

"Aku benar-benar enggak bisa, Ra." Aku mengiba, memohon Aurora untuk melepaskanku. "Aku enggak berhak."

"Ra, aku antar ke depan, ya." Kata Damar kalem.

Aurora tidak menggubris Damar. Dia menatapku tajam. "Itu jawaban final kamu?"

Ya Tuhan.

Aurora tahu. Dia tahu.

"Ra." Aku ingin menangis. Badanku gemetar. "Aku mohon, Ra."

Kevin langsung bereaksi melihatku hampir kacau. Dia menarik siku Aurora dengan lembut. "Ra, pulang aja ya."

Aurora menampik tangan Kevin. "Oke. Karena kalian menganggapku orang jahat, kenapa enggak sekalian saja aku jadi orang jahat betulan?" Aurora terkekeh. "Enggak, yang jahat bukan aku. Aku cuma saksi mata dan berbaik hati mengunci mulutku."

"Jangan, Ra." Kataku putus asa.

"Ini bukan urusanku dan aku cuma menonton dari samping. Kupikir budi baikku akan berbalas." Aurora menatap kami berempat. "Kupikir akan ada gunanya aku menutup mulutku."

Diam-Diam SukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang