Aku melihat Dina bahkan sebelum dia menekan bel pintu rumah. Posisiku di depan meja belajar, berusaha mengerjakan PR untuk mengalihkan perhatian dari perbuatan jahatku. Aku sedang melamun, memandang ke arah jalan ketika Dina turun dari taksi di depan rumahku.
Lihat, apa yang kamu lakukan. Aku menggigit bibir.
Rasa bersalah kembali membuat perutku mulas-mulas. Aku teringat kejadian tadi di sekolah. Begitu kembali ke kelas, aku tidak bisa menatap Dina. Ada ketakutan irasional yang meyakinkanku kalau Dina bisa melihat apa yang kulakukan dengan surat cintanya.
Sepanjang pelajaran, aku menatap guruku. Sesekali aku mengangguk-angguk seolah mengerti. Di sebelahku, Dina berusa mengajak bicara. Ketika aku tidak menjawab, Dina mencoba mengajak mengobrol lewat tulisan di secarik kertas. Saat aku membalas ala kadarnya dan berakting memperhatikan pelajaran. Akhirnya Dina berhenti.
Untuk sesaat aku bernapas lega.
Tentu saja tidak segampang itu aku bisa menghindari Dina. Alam semesta punya rencana lain dengan membuat guru mata pelajaran berikutnya tidak masuk karena sakit. Kelas kosong bukan berarti tidak ada kegiatan belajar. Sebagai ganti sesi pelajaran, seisi kelas diharuskan mengerjakan soal latihan yang dikumpulkan sebelum bel berbunyi.
Aku tidak punya alasan tidak mendengar cerita Dina. Sepanjang mengerjakan latihan, Dina terus mengira-ngira skenario apa yang harus dia lakukan.
"Gi, lebih baik aku datang duluan atau muncul setelah Kevin datang?"
"Terserah," aku menggumam.
"Kalau datang duluan seperti putus asa. Mungkin lebih baik kalau aku mengintip di pojokan, memastikan Kevin datang lalu muncul. Tapi... aku takut disangka tidak serius." Dina mengetuk-ngetuk meja dengan pensilnya.
"Yang mana saja bisa, Din." Kataku menekan rasa tidak enak. Aku tahu Kevin tidak akan muncul dan itu karena kelicikanku. "Yang paling penting hasil akhirnya."
"Hm, iya juga sih." Dina masih mengetuk-ngetuk pensilnya. "Omong-omong, kamu pucat banget, Gi. Sakit kepala?"
Aku mengangguk. "Makanya, jangan berisik."
"Ups." Dina cuma nyengir, berhenti memain-mainkan pensilnya. "Maaf."
Aku hampir bilang 'justru aku yang harus minta maaf' tapi kutahan. Segalanya sudah terlanjur terjadi, yang bisa kulakukan hanya menunggu hasilnya.
Selesai jam sekolah, Dina menyuruhku pulang duluan. Tadinya dia memintaku aku menunggunya di kantin, semacam dukungan moral terlepas apa pun hasilnya. Tapi karena aku kelihatannya kurang enak badan, Dina bilang lebih baik aku istirahat di rumah.
Oh, kalau saja Dina tahu kenapa aku pucat sepanjang hari. Dia mungkin sudah menjambak rambutku sampai helai-helainya rontok.
"Ini saatnya." Dina mengerjap-ngerjapkan mata. Dia sengaja menggunakan riasan tipis dan merapikan penampilan begitu bel pelajaran terakhir berbunyi. "Bagaimana?"
"Cantik." Kataku.
Dina menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. "Doakan aku."
Aku cuma mengangguk, pulang dengan rasa tidak enak menggerogoti isi kepalaku. Sesampainya di rumah, aku mencoba mengalihkan perhatian dengan menonton TV, baca komik, dan mengerjakan tugas. Tidak ada yang berhasil. Aku terus menerus melihat ke ponsel, menunggu telepon atau pesan teks dari Dina.
Sekarang, Dina muncul di depan rumahku. Dari jauh, aku bisa melihat dia berantakan, tidak seceria pulang sekolah tadi. Sebelum keluar kamar, aku menoleh ke arah cermin. Bukan untuk merapikan penampilan, aku memeriksa bagaimana ekspresi mukaku. Bayangan di cermin menunjukan Gia yang sedang kalut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diam-Diam Suka
Teen FictionWaktu Gia si nerd SMU Harapan jadi manager sepak bola, semua pada kaget. Karena cewek itu terkenal pantang buang-buang waktu untuk hal yang enggak penting. Waktu Gia menjurus punya hubungan teman tapi mesra dengan Kevin, semua orang biasa saja karen...