Bab 6

176 29 2
                                    


"Berapa kaliii kuharus katakan cinta. Berapa lamaaa kuharus menunggumu."

Tahan, Gi. Tahan. Kuperbesar volume musik di earphone-ku. Kalau aku kesal maka aku kalah.

"Namun dirimu masih begitu. Acuhkanku tak mau tau."

Aku menggenggam erat pensil. Bahkan dengan volume keras, suara sumbang itu masih terdengar.

"Bertahan satu cin——ta. Bertahan satu C-I-N-T-A."

Aku membanting pensil ke meja. Dengan satu gerakan cepat, aku mencopot earphone dan berbalik ke arah tempat tidurku. "Jangan berisik." Geramku pada Kevin.

Kevin yang sedang tidur-tiduran mengangkat kepalanya, nyengir karena berhasil membuatku kesal. "Oh, halo Gi. Bagaimana dengan risetmu?"

Keningku berkerut. Cengiran Kevin makin lebar.

Ini adalah satu contoh dimana Mama terlalu percaya pada Kevin. Setiap kali Kevin mampir dan main ke kamarku, Mama cuma berpesan agar pintu kamar dibuka. Sesekali beliau datang untuk mengecek dan membawakan kudapan lengkap dengan es teh lemon.

"Setidaknya, pelankan suaramu." Aku menghirup napas dalam-dalam lalu mengembuskannya pelan-pelan. "Atau ganti genre musiknya."

"Ada yang salah?" Kevin mematikan lagu band Melayu kesukaannya. Dia terkekeh melihatku merengut.

"Vin." Aku memaksa diriku tidak histeris. Cacat Kevin selain anti hubungan, dia buta nada. Pencipta aria opera bisa menangis jungkir balik di dalam peti matinya kalau dia bisa mendengar nyanyian ala Kevin.

"Enggak ada yang namanya musik norak. Semuanya masalah selera, enggak ada yang benar dan salah.Jadi kamu termasuk yang menganggap musik Melayu itu murahan?" Kevin mulai meracau. "Kalau ada yang bilang begitu, berarti dia sombong. Musik itu universal. Cuma masalah selera."

Aku terus menatap Kevin hingga mataku mulai berair.

"Oke. Oke." Kevin mengangkat kedua tangannya.

Aku menempelkan telunjuk pada bibir sebelum kembali ke coret-coretanku. Guru Bahasaku sudah menanyakan topik apa yang akan aku bawakan pada lomba pidato nanti.

"Gi." Kevin merajuk, bergerak-gerak hingga kasurku berbunyi.

"Hm."

"Gi."

"Apaaa Kev." Aku tidak menoleh, masih membaca saran yang diberikan guruku. Jangan terlalu rumit tapi berbobot. Cari topik yang menyentuh perasaan. Bagus sekali sarannya. Masalahnya adalah mendapatkan gagasan yang mencakup itu semua.

"Udah selesai? Ke Shake 'N Grill, yok."

"Belum, Vin." Jari-jariku gatal, ingin mencubit Kevin sampai biru-biru. "Makanya aku bilang tadi kamu enggak usah datang."

Kevin cemberut. "Kukira enggak bakal selama ini." Kevin menghampiriku, berdiri di belakangku.

Aku tidak bisa menahan diriku sedikit bergidik. Kugigit bibirku. Kevin sedikit membungkuk. Kedua tangannya bertumpu pada meja, mengurungku. Kevin mulai membaca isi coret-coretanku.

"Ih, sana." Aku mendongak sekaligus mendorong dada Kevin. Satu hirup udara masuk ke paru-paruku. Aroma khas Kevin. "Ganggu, tahu."

"Dua kepala lebih baik daripada satu." Kevin menyambar kertas, mulai mengomentari satu per satu ideku.

Fokus, Gia.

Jangan seperti orang bodoh.

Kevin berdiri di tengah-tengah kamarku. Rambutnya sedikit berantakan karena tidur-tiduran. Kevin tersenyum dengan kilat-kilat jenaka di matanya. Cara menelengkan kepala, caranya menggerakan tangan untuk mengekspresikan idenya, caranya tertawa membuatku semakin sayang padanya.

Diam-Diam SukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang