Bab 22

125 20 2
                                    

Dunia dan detik di jam tidak berhenti meski aku merasa sangat sengsara. Mama tetap memaksaku pergi ke sekolah. Beliau tidak peduli dengan tampangku dan cara berjalanku yang mirip zombie. Hanya ada dua alasan tidak ke sekolah yaitu sakit keras yang harus dioperasi atau kiamat.

Mama sempat bertanya kenapa aku begini kacau tapi aku malas menjelaskan. Aku tahu siapa pun yang mendengar akan menyalahkanku. Jadi kalau aku menderita, itu sudah sepantasnya.

Tadi aku hampir berpapasan dengan Dina. Kubilang hampir karena Dina berhenti berjalan lalu balik arah begitu melihatku. Tentu saja Dina memberiku tatapan jijik terlebih dahulu. Aku sedikit terhibur karena Dina pun kurang tidur. Kantong matanya besar dan gelap. Mungkin karena Damar.

Aurora melihat dari kejauhan sendirian tanpa Lisa. Mungkin masih bolos. Aurora kelihatan puas. Aku tidak punya tenaga lebih untuk mengkonfrontasi dia. Buat apa? Masalah yang ada di depanku sudah terlalu banyak.

Aku tidak selera mengerjakan tugas-tugas manajer klub bola. Kalau tidak ingat dengan sebentar lagi akan ada pertandingan final, aku memilih untuk kabur secepatnya dari sekolah.

"Eh, Gia." Dodo sedikit kaget melihatku muncul dengan playbook dan peralatan di lapangan. "Kukira kamu enggak bakal datang karena- aduh."

Anggota klub yang lain menyikut Dodo, menyuruhnya untuk diam.

"Apaan sih?" Dodo sama sekali tidak menangkap kode. "Lah, memangnya kalian tidak penasaran? Bukan cuma aku saja yang pengin tahu, kan?"

"Do, bantu susun cone." Tanpa menunggu jawaban Dodo, Ragil menarik kaos belakang Dodo dan menyeretnya ke tengah lapangan. Aku sempat melihat ekspresi Ragil yang mengutuk ketidakpekaan Dodo. Mereka berdua menyusun kerucut-kerucut oranye plastik mengikuti pola yang biasa dipakai klub untuk berlatih.

Anak-anak klub yang lain lebih peka untuk tidak membahas. Kali ini mereka lebih manis dari biasanya. Tidak terlalu ribut. Tidak minta yang aneh-aneh.

"Pelindung lutut, Gi."

Aku tersentak, sama sekali tidak sadar Damar berdiri di belakangku. Cowok itu memperlakukanku sama seperti biasaya. Jantungku berdebar, sama sekali tidak tahu apakah ini pertanda bagus atau buruk.

"Gi?" Kata Damar lagi. "Pelindungku kayaknya ketinggalan."

"Oh, iya." Buru-buru kubuka kotak peralatan, mencari pelindung lutut cadangan milik klub. Kuambil satu dan kuberikan pada Damar.

Cowok itu menerima tanpa banyak cakap. Aku lega. Kuanggap perlakuan Damar ini pertanda dia masih bisa mentoleransi kesalahanku.

"Eh, bisa hati-hati enggak?"

Semua menoleh ke arah suara. Sepertinya Ega tidak melihat arah Kevin datang dan dia tidak sengaja menabrak Kevin. Tidak ada yang menyangka Kevin yang selalu tersenyum bisa begini. Butuh beberapa saat sebelum Ega sadar dari rasa kaget dan dia tergagap minta maaf pada Kevin. "So... sorry, Kev."

Kevin mendelik, dengan kasar melepaskan ransel dan melemparkan ke bangku panjang.

"Santai Kev. Santai." Seorang yang lain berusaha meringankan suasana. Dia hendak merangkul Kevin, mengunci kepalanya dengan gaya yang biasa. Gerakannya berhenti karena Kevin menggertakan gigi.

"Ehm." Aku memutuskan untuk menengahi. "Ada yang butuh pelindung? Siapa tau ada yang enggak bawa."

Cowok-cowok mengambil kesempatan untuk kabur dari Kevin. Mereka memasang peralatan lalu lari ke lapangan. Beberapa menoleh lalu berbisik. Sudah jelas topiknya tentang perubahan sikap Kevin. Aku berusaha bersikap biasa saja saat tatapan penuh pretanyaan itu beralih kepadaku.

Diam-Diam SukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang