"Giaaa," Dodo berteriak memanggilku dari ujung lapangan. Dia membawa kotak plastik alat kesehatan. Cowok itu dengan dramatis berlari, seolah sudah bertahun-tahun tidak melihatku.
Setelah pertandingan final, acara klub bola tidak terlalu padat. Anak-anak klub punya kesempatan untuk latihan santai dan bersenang-senang bermain bola. Anak-anak kelas tiga sudah diberi ultimatum untuk tidak terlibat kegiatan klub. Pak Wijaya bilang jangan sampai klub bola bubar gara-gara penghuninya tidak lulus sekolah karena kebanyakan main bola. Peralihan dari senior ke yunior mulai berjalan. Aku bisa lihat anak-anak kelas satu mulai percaya diri setelah mendapat tanggung jawab yang lebih besar.
"Gia. Balik lagi ke klub, dong." Dodo bersimpuh di depanku, membiarkan kotak begitu saja di tanah lapang. Kalimat cowok itu sontak diamini oleh anak-anak klub yang lain. "Mau, ya?"
"Emang bener kata orang, sesuatu kerasa tidak ternilai kalau udah kehilangan." Aku melipat tangan, mendongakkan dagu. "Kesempatannya udah lewat. Udah enggak mungkin balik lagi."
Dodo mendesah dramatis. Dia menoleh, berteriak pada Kevin yang sedang bercengkerama dengan Damar di tengah lapangan. "Woi Vin. Bantuin dong."
Perhatian Kevin teralih beberapa detik lalu cowok itu kembali fokus latihan.
"Dodoooo." Teriakan melengking dari kejauhan membuat Dodo tercekat. "Ini masih banyak yang harus diangkat."
Dodo memberi tatapan memohon padaku yang kubalas dengan gelengan kepala. "Enggak ah. Manajer baru kalian mengerikan."
"Dodo!" Suara itu terdengar lebih gusar.
Anak-anak klub menertawakan nasib Dodo. Karena aktingnya tidak berguna, Dodo berdiri dan mengibaskan kotoran dari lututnya. "Ya ketawa aja. Nanti kalian juga bakal ngerasain waktu giliran kalian piket." Cowok itu cemberut, lari ke arah sumber suara.
Aku menudungi tangan, memperhatikan Dodo menghampiri Aurora dan Lisa.
Iya.
Aurora dan Lisa.
Setelah kabar aku keluar dari klub, dua cewek itu mengajukan diri menjadi penggantiku pada Pak Wijaya. Pak WIjaya, yang memang malas repot, langsung meng-iyakan tawaran itu. Tanpa proses seleksi macam-macam, Aurora dan Lisa resmi menjadi manajer baru klub bola SMU Harapan Bangsa.
Cowok-cowok girang bukan kepalang. Siapa yang tidak senang dekat-dekat cewek cantik? Tapi kebahagiaan itu dalam sekejap menghilang. Aurora yang memang tidak bisa ditindas, tanpa peduli pada protes menggunakan gaya otoriter mengatur klub. Sekarang, meski tetap bau keringat, keadaan klub lumayan rapi. Aurora memaksa tiap orang piket untuk bantu-bantu logistik dan membersihkan ruangan klub.
Cowok-cowok klub yang terbiasa santai langsung syok. Mereka langsung komplen dan memintaku balik memegang klub.
Kujawab, aku takut dicakar Aurora.
Lisa membawa kantong plastik berisi cemilan. Dodo dan Ragil menggotong chiller box berisi minuman dingin. Dodo cengr cengir sementara Ragil mencak-mencak. Kotak minuman ditaruh di samping bangku panjang pemain.
"Ini bukan jadwal piketku. Kenapa aku jadi ketiban kerjaan?" Ragil merungut sementara Dodo cengar-cengir senang punya teman untuk menderita.
"Udah, jangan bawel." Aurora mengikuti di belakang dua cowok itu, tentu saja tidak membawa apa-apa. "Sana, pergi."
Sambil bersungut-sungut, Dodo dan Ragil bergabung dengan anak-anak klub di tengah lapangan.
Meski kuyakin saranku tidak banyak berguna, aku diminta untuk datang memberikan pengarahan yang mungkin bisa membantu Lisa dan Aurora. Lisa dengan sopan mendengarkan berbagai macam penjelasanku sementara Aurora jelas sekali bertoleransi demi Lisa. Sebagai orang yang besar hati, aku tidak mempedulikan tingkah Aurora. Jangan cari pertengkaran yang tidak perlu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diam-Diam Suka
Teen FictionWaktu Gia si nerd SMU Harapan jadi manager sepak bola, semua pada kaget. Karena cewek itu terkenal pantang buang-buang waktu untuk hal yang enggak penting. Waktu Gia menjurus punya hubungan teman tapi mesra dengan Kevin, semua orang biasa saja karen...