Bab 2

327 33 1
                                    


Kevin berjalan di koridor sekolah, kedua tangannya masuk ke dalam saku celana.

Aku memeluk berkas-berkas lebih ketat, sedikit bingung harus bersikap bagaimana. Haruskah aku tersenyum manis? Atau berbalik arah, lewat jalan lain ke ruang guru?

Aduh, kenapa jadi ribet begini sih? Tiba-tiba saja aku teringat Kevin geleng-geleng kepala sambil bertanya kenapa sih cewek demen perang urat syaraf?

Aku cuma mendelik mendengar komentar cowok itu.

Kevin sering banget bilang kalau cewek seneng banget kalau udah masuk zona ini. Aku bilang padanya hih kamu tahu apa sih. Tapi setelah lama-lama berdekatan dengan Kevin aku baru sadar kalau memang iya juga ya.

Cewek, termasuk aku, senang dengan drama. Senang bermain dengan alasan tarik ulur dan alasan pengen dimengerti.

Contohnya ya seperti sekarang ini.

Aku gengsi bilang pada Kevin kalau sebenarnya aku sebal ditinggal kemarin. Aku sebetulnya pengin pergi ke tempat burger, merayakan berdua seperti yang dijanjikannya padaku kemarin-kemarin. Masalahnya kan, tidak mungkin.

Pertama, aku bakal kelihatan gila. Pesta itu terbuka untuk umum meski mayoritas isinya adalah anak-anak populer. Saking banyaknya, siswa yang bukan bagian dari mereka jadi risih sendiri lalu menyingkir atau pergi cuma sebentar.

Kedua, aku memang punya tugas untuk mulai mencari bahan lomba pidato. Sebagai kesayangan guru bahasaku, aku ditunjuk sebagai wakil sekolah.

Ketiga, aku tidak bisa lengket dan minta yang aneh-aneh pada Kevin. Yah, aku kan cuma sahabatnya. Bukan pacar yang bisa minta hal aneh-aneh.

Kutarik napas. Lebih baik kupasang wajah merengut standar selayaknya anak yang kurang tidur karena belajar terlalu keras kemarin malam.

"Vin," panggilku.

Cowok itu terus berjalan.

"Kevin." Panggilku lebih keras.

Dia berhenti.

Hah? Apa-apaan ini? Aku melongo, tidak bisa mempercayai mataku.

"Memangnya aku mirip banget dengan Kevin, ya?" Cowok itu berbalik, tidak tersenyum tapi jelas sekali terhibur.

Damar?

"Menurutmu?" Aku mencebik.

Sepertinya setelah pulang pertandingan kemarin, Damar mampir ke pangkas rambut. Rambut gondrongnya berubah menjadi potongan pendek rapi.

Damar mengangkat bahu.

"Lagian potong rambut kok modelnya sama dengan Kevin. Macam enggak ada model lain aja."

"Hmm, enggak ah." Kata Damar pikir-pikir sebentar. Dia mengerling. "Seru melihat reaksi orang-orang."

Aku mendecak, geleng-geleng. "Aku sama sekali enggak mengerti selera humormu."

Wajah Damar dan Kevin boleh berbeda tapi perawakan mereka mirip seperti saudara kembar. Keduanya jangkung dengan bahu lebar dan kaki panjang. Meski setiap hari berinteraksi dengan mereka, aku sering tertukar. Apalagi kalau Damar dan Kevin dilihat dari belakang. Sulit membedakan mereka. Dengan potongan rambut kembar seperti ini, kuyakin orang-orang makin sering salah panggil.

"Lihat saja sebentar lagi." Damar berjalan bersamaku ke ruang guru. "Kamu akan mengerti."

Aku menelengkan kepala. Beberapa saat kemudian, baru aku mendapatkan jawaban. Dari arah belakang kami terdengar panggilan setengah berteriak. "Kak Keviiin." Seorang adik kelas, berlari-lari kecil.

Diam-Diam SukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang