Bab 10

159 26 0
                                    

Kabar Damar dan Dina pacaran menggegerkan satu sekolah. Tidak ada yang menduga, cowok irit bicara itu bisa juga menggaet cewek. Apalagi setelah mereka tahu siapa pacar Damar. Dina, si anak baru yang kelihatan ceria dan banyak omong. Pasangan beda karakter ini menjadi topik utama sepanjang minggu.

Aku dan Kevin sedang menunggu pasangan baru ini di pintu menuju lapangan parkir.

"Kev," panggil Lisa. Cewek itu mendekat. "Makan siang bareng, yuk."

Di pojokan lorong, Aurora sedang mengamati kami bertiga. Dia seperti induk elang, mengamati anak-anaknya mencoba terbang sembari bersiap-siap menjadi penyelamat jika ada masalah.

"Sudah pernah ke Skyler? Tempat itu baru buka dan kayaknya bakal jadi tempat hip. Anak-anak bilang makanannya enak."

Aku bisa merasakan aura gugup Lisa. Meski kelihatan anggun dan cantik seperti biasanya, Lisa grogi. Ada yang berubah dari cara Lisa mendekati Kevin.

Kevin melirikku, dia kelihatan bingung. "Ummm."

Rupanya bukan aku saja yang merasakan itu.

Lisa akhir-akhir ini lebih agresif. Lebih tepatnya sejak aku menolak menjadi mak comblang. Kalau dulu dia hanya ingin dekat-dekat Kevin dan bisa bareng cowok itu, sekarang ini Lisa seperti memberi sinyal-sinyal ingin lebih dari sekadar sahabat.

Yang mana itu adalah jalan cepat menuju daftar hitam Kevin.

"Ummm." Kevin masih mencari perhatianku.

Kali ini aku tidak mau menjadi penyelamatnya. Sekali ini aku ingin egois, menjaga perasaanku sendiri. Kupilih untuk memainkan ponsel.

"Kamu enggak akan menyesal," Lisa masih membujuk. "Enggak berduaan, kok. Bareng Aurora dan Gia juga."

Giliran Lisa menggunakanku sebagai alat membujuk. Dia tahu benar, kalau aku setuju pergi maka kemungkinan Kevin ikut menjadi lebih besar.

"Kapan-kapan, Sa." Kupotong sebelum Lisa merengek lebih panjang. Dari ujung mataku, aku bisa melihat Aurora bersidekap.

Jemariku mengetik pesan bernada mengancam pada Dina. Kalau sampai dia tidak datang juga, aku mogok bicara satu minggu penuh.

Sadar tidak akan ada pertolongan dariku, akhirnya Kevin menolak. "Terlanjur ada janji, Sa."

Lisa kecewa. Bahunya terkulai beberapa detik sebelum dia kembali memancarkan senyum riang gembira. "Janji makan siang?"

"Iya." Kevin mendekatkan diri, diam-diam mencubit punggungku. Dia memberikan sinyal untuk menyelamatkan situasi.

Aku pura-pura membaca kotak masuk. Kutekan pesan, kutekan simbol kembali lalu kutekan lagi pesan yang sama. Belum ada balasan dari Dina.

"Oh, baguslah. Makan dimana? Aku boleh gabung?" Keceriaan Lisa tidak natural. Dia benar-benar memaksakan diri.

Aku tidak tega melihatnya begini. Ada rasa solidaritas yang tiba-tiba muncul. Sayangnya, aku tidak mungkin menunjukan itu. Kalau sampai aku bilang aku mengerti perasaannya, Lisa akan tahu aku juga menyukai Kevin.

Jadi aku memilih tutup mata, membiarkan Lisa berusaha terlalu keras dan mempermalukan dirinya sendiri untuk seorang cowok.

"Traktiran Damar." Kata Kevin. "Aku pengin aja ngajak tapi bukan aku tuan rumahnya. Maaf, ya."

Aku ingin menutup mata, ikut merasakan efek penolakan. Tapi aku tahu, Lisa tidak akan berterima kasih. Dia malah makin malu kalau aku menunjukan simpati.

Aurora menyender di dinding. Dia mengamati kami dengan intens. Aku bahkan merasakan bulu kudukku meremang ketika mata kami bersirobok.

"Kalau besok?" Tanya Lisa.

Diam-Diam SukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang