Bab 13

133 25 0
                                    

"Jadi lanjut enggak nih?" Dodo memandang ke sekeliling. Jingga api unggun bergerak-gerak. Kayu bergemeretak. Wangi manis marshmallow panggang bercampur dengan aroma jagung mentega. Setelah puas bernyanyi-nyanyi dan bermain gitar, tiba-tiba saja terlintas ide buruk untuk adu nyali.

Entah siapa yang pertama mengajukan. Yang jelas, aku setengah mati jengkel karena semua anak cowok menyambut antusias. Kali ini cewek-cewek satu suara menolak. Aurora kelihatan ingin mencekik sementara Lisa seperti hampir menangis. Dina merajuk di sebelahku.

Kevin cengengesan. Damar diam tapi tidak berbuat apa-apa. Damar jelas setuju dengan ide jelek ini.

"Ah, gila." Aurora mendelik. "Bahaya adu nyali tanpa persiapan. Kamu saja yang pergi ke hutan sana. Titip salam sama kuntilanak dan genderuwo."

"Aurora. Aurora." Dodo geleng-geleng. Dia berdecak seolah Aurora tidak mengerti apa-apa. "Ya jangan pergi ke hutan. Yang dekat-dekat. Enggak susah dan enggak bakal bahaya."

Aku tidak akan percaya dengan nada salesman dan senyuman mencurigakan Dodo. Di bawah api unggun, dia kelihatan seperti seorang penjahat yang sedang merencanakan aksi.

"Terus kemana, dong?" Timpal yang lain.

"Aku sejak sampai di sini, merasakan hawa enggak enak. Aku yakin ada yang aneh di penginapan kita tapi tidak di semua tempat." Dodo bicara dengan nada rendah.

"Dimana?" Damar angkat bicara. Penginapan ini bangunan baru lengkap dengan fasilitas modern. Tidak ada bagian yang kelihatan menyeramkan dari tempat ini.

"Di ujung lapangan sana, ada patung besar selamat datang." Dodo menyeringai.

Semua cowok langsung ber-ooh panjang.

Sial. Aku merinding.

Saat Kevin dan aku bersirobok, aku cuma mengusap-usap lengan. Semoga itu cukup mengelabui orang-orang kalau aku kedinginan, bukan ketakutan karena omongan Dodo.

"Wah. Boleh boleh." Kata yang lain. "Tantangannya apa, Do?"

"Cuma pergi ke sana lalu foto pakai hape. Patungnya dan muka harus kelihatan." Dodo antusias. Dia memegang kaleng bekas kerupuk dan sobekan kertas.

"Eits. Ini bagian paling penting. Tinggal suratan nasib siapa yang harus pergi." Dodo berdiri, bergaya dengan berlebihan. "Satu paling beruntung yang berangkat."

Aku tanpa sadar merengek pelan. Ini benar—benar enggak lucu. Dina menggenggam tanganku.

Cowok-cowok bersiul. Mereka menuliskan nama-nama dan memasukan kertas ke dalam kaleng.

Aku memejamkan mata, berharap dalam hati kalau namaku tidak terpilih.

"Dan korbannya adalah..." Dodo menyeringai, dia mengocok kertas-kertas di dalam kaleng. Ketika dia membuka lipatan dan menoleh ke arahku, aku tahu aku dalam masalah.

"Manajer kita tercinta." Dodo memperlihatkan kertas di tangannya.

Jemariku meremas kaosku. "Harus banget pergi, nih?"

"Iyaaa..." Seluruh tim menjawab.

Aku berdiri. Kevin kelihatan khawatir.

"Cuma foto, kan? Enggak minta yang aneh-aneh." Suaraku sedikit melengking, menyembunyikan rasa takut yang pelan-pelan membuat punggungku dingin.

Dina ikut berdiri tapi aku menyuruhnya tetap duduk.

"Oke. Kalau aku berhasil, aku pengin kamu pakai lipstik selama latihan tanding besok." Aku menyipitkan mata pada Dodo. "Bagaimana?"

Sontak seluruh tim tertawa.

"Kok aku?" Dodo gelagapan. "Kenapa aku?"

"Udah, terima aja, Do." Timpal yang lain. "Cuma pakai lipstik ini."

Diam-Diam SukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang