Bab 7

157 26 2
                                    


Pintu rumah Dina membuka. Dia memegang pinggiran pintu, merentangkan tangannya mempersilakan masuk seolah mempersilakan tamu penting masuk. "Selamat datang," kata Dina

Aku meremas tali tasku, berusaha kelihatan santai seolah menginap di rumah teman sudah jadi kebiasaanku setiap minggu.

"Enggak susah cari alamatnya, kan?" Dina mengambil tasku dan aku kehilangan bahan untuk mengalihkan perhatian.

Aku menggeleng. Tidak berani berkata-kata.

"Ma," Dina membawaku ke bagian dalam rumah. "Gia sudah datang."

Mama Dina meletakan majalah yang dibacanya, berdiri menghampiriku. "Gia? Kamu banyak berubah, ya." Dengan satu gerakan anggun, Mama Dina memeluk dan mencium kedua pipiku, jenis ciuman sosialita menempelkan dua pipi di pesta-pesta——nyaris tidak bersentuhan.

"Berkat pubertas dan tekanan sekolah, tante." Aku tertawa, jenis untuk basa-basi. Aku tidak ingin mendengar rincian dari kata berubah yang baru saja dikatakan Mama Dina.

"Sudah lama sekali. Sepuluh tahun? Sebelas tahun?"

Aku cuma menggumam tidak jelas.

"Ah, Tante minta bantuanmu, Gi." Mama Dina mengerucutkan bibirnya. "Dina butuh banyak arahan di sekolah. Apalagi kurikulum di sini berbeda dengan Spanyol. Nilai-" Mama Dina mendekat, merendahkan suaranya sambil melirik Dina, "nilai Dina mencapai rata-rata sudah bagus."

Dina mendelik. "Eh, aku dengar, loh."

"Baguslah." Mama Dina mendesah dengan dramatis. "Semoga bisa bikin kamu semangat."

Dina memutar bola matanya. Tampaknya ini sudah menjadi bahasan yang berulang kali dibicarakan. "Yuk, Gi." Kata Dina. "Topik bahasannya enggak seru."

Aku hanya bisa menurut ditarik Dina ke kamarnya. Mama Dina geleng-geleng karena tingkah puterinya.

Sembari berjalan, aku memperhatikan semua detil yang bisa kulihat. Rumah ini didesain minimalis tapi penghuninya jelas tidak terlalu setia mempertahankan aliran itu. Di satu dinding, berbagai pigura dan cindera mata ditempelkan. Aku sekilas melihat foto-foto Dina bergaya di depan monumen berbagai negara. Rak yang seharusnya kosong terisi berbagai macam buku dan bacaan.

Rasa tidak percaya diri kembali menggerogoti diriku. Dina adalah cewek yang terlalu ideal untuk jadi nyata. Sebagai anak seorang bankir, meloncat-loncat berbagai negara membentuk kepribadian unik Dina. Cewek ini punya cara pandang menarik yang dituangkannya dalam berbagai tulisan di blog-nya.

Dibandingkan Aurora atau Lisa, Dina masih kalah cantik. Dia tidak punya bentuk wajah ideal dan kulit mulus yang jadi standar ideal. Tapi Dina punya gestur yang membuat orang terus melirik ke arahnya. Dina termasuk tipe orang yang semakin lama dilihat semakin menarik.

"Aku punya banyak rencana." Dina menaruh tasku di kasur, membiarkanku berdiri canggung di tengah-tengah kamarnya. "Maskeran bareng, nonton video atau bikin kotor dapur. Mana yang lebih menarik?"

Mana kutahu. Ini pertama kalinya aku menginap di rumah teman. Tidak ada yang menjual manual bagaimana bertingkah laku yang baik dan benar pada acara menginap bersama.

Aku hanya bisa menganggkat bahu.

"Um, bagaimana kalau menonton film? Ada yang ingin kulihat tapi tidak pernah sempat." Dina mencari keping DVD lalu melemparkannya padaku. "Kamu pasang. Aku ambil camilan di bawah."

Tanpa menunggu responku, Dina pergi ke dapur mengambil keripik dan dua gelas besar es teh. Kami duduk di lantai, mulai menonton film di TV.

Film sudah berjalan satu jam. Aku kehilangan konsentrasi karena di tengah-tengah adegan tegang, Dina terkikik-kikik.

Diam-Diam SukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang