Setelah mendengar cerita Kevin, aku sekarang mengerti. Segalanya menjadi jernih. Tanpa dia perlu menjelaskan hingga ke detil-detilnya, yang terjadi pada masa lalunya menjadi hantu yang terus mengikuti Kevin. Aku bisa melihat kenapa Kevin berusaha menyenangkan orang lain tapi tidak membiarkan mereka masuk lebih dalam. Sedikit banyak, Kevin sama sepertiku. Dia memakai topeng untuk menipu orang lain.
Kami duduk lama di kaki patung jelek itu. Aku diam, mendengarkan apa pun cerita Kevin. Semua komentar sarkas dan sinis kusimpan saja dalam hati. Karena aku yakin, ini pertama kalinya Kevin menunjukan kelemahannya di hadapan orang lain.
Aku memberanikan diri untuk memeluk Kevin. Lenganku di pundaknya. Sesekali aku menepuk Kevin.
Kevin malu, dia berusaha kelihatan kuat. Dia mencoba meredakan suasana dengan menganggap ceritanya tadi sama tidak pentingnya dengan ramalan cuaca. "Kamu enggak bakal berubah, kan?" Katanya. "Kamu akan tetap biasanya, kan?"
Rasa sayang mendorongku untuk memeluknya. Aku memilih untuk menggetok kepala Kevin. "Tergantung sikapmu."
Kevin sedikit ragu. Dia berbicara pelan. "Jangan cerita-cerita ke orang, Gi."
"Menurutmu?"
Kevin diam.
Au menghela napas. "Kalau kamu mau cerita ke orang, ke Damar misalnya," Kevin beringsut tidak nyaman membenarkan dugaanku Damar tidak tahu, "Itu hak kamu. Aku tidak punya alasan untuk bilang ke orang-orang."
"Maaf, kesannya jadi meragukan kamu."
"Enggak perlu." Kataku. "Tapi tenang saja, mulutku terkunci."
Aku menggigit bibirku. Ada pertanyaan yang ingin kulontarkan tapi aku takut ini akan membuat Kevin tidak nyaman. Ini akan mempengaruhi hubungan di antara kami.
"Kenapa, Gi?" Kevin bisa merasakan kebimbanganku. "Bilang aja."
Aku bergumam, mencari kata-kata yang tepat. Jangan sampai inti pertanyaanku tidak tersampaikan karena kata-kata yang salah. "Vin, apa seterusnya kamu tidak akan percaya orang lain?"
Kevin terhenyak.
"Maaf, jangan dijawab." Aku ingin memukul diriku sendiri.
Saat Kevin masih tidak menjawab, aku ingin menggali lubang lalu mengubur diri hidup-hidup.
"Itu... aku tidak tahu, Gi." Kevin tersenyum kecil. "Aku senang dikelilingi oleh orang-orang tapi aku tidak tahu apakah aku bisa terbuka dengan mereka." Dia terdiam beberapa detik. "Dan aku tidak yakin akan punya relasi normal cowok cewek. Karena..." Kevin menggantung ucapannya.
Aku menelan ludah. Hatiku hancur.
"Sejujurnya aku malu kamu melihat keadaanku seperti ini. Aku tidak pernah membayangkan ada yang melihatku begini." Kevin mulai menggunakan nada riang gembira, setelan standar yang dilakukannya setiap hari ketika bertemu orang-orang. Aku tidak tahu kenapa ini malah membuatku ingin menangis. "Tapi di sisi yang lain, aku senang akhirnya aku bisa cerita."
Aku mengerjap-ngerjap, jangan sampai air mataku jatuh.
"Aku kedengaran aneh." Kevin tertawa.
"Jangan..." sial, daguku gemetar, "jangan pernah pura-pura di depanku, Vin."
Kevin tidak bereaksi.
"Aku memilih kamu begini daripada versi pura-pura kamu." Kataku. Dalam hati, nuraniku mengejek. Yeah, lihat si munafik ini bicara. Dia meminta orang lain untuk jujur padanya tapi dia sendiri terus berbohong. Aku berdeham, mengusir bisikan itu jauh-jauh. "Di depanku, kamu bisa jadi Kevin yang sebenarnya. Aku enggak akan menghakimi kamu. Aku...," rasanya berat sekali, "akan tetap ada untuk kamu."
Setelah kata-kata itu terucap, ada bagian dari diriku yang lega luar biasa. Ini bukan lagi tentang cinta-cintaan. Ini bukan lagi tentang aku berpura-pura jadi sahabat sambil menjauhkan cewek-cewek dari sekitar Kevin. Ini lebih dari itu.
Aku melepas Kevin.
Perasaanku tidak lagi penting. Aku masih menyukai dia. Aku masih menginginkan Kevin memilihku. Setelah mendengar dan melihat Kevin di saat terlemahnya, rasa sukaku tidak lagi menjadi prioritas. Aku ingin Kevin... bahagia. Suatu hari nanti, kalau Kevin muncul dan mengenalkanku pada cewek yang berhasil mendapatkan hatinya, aku akan bertepuk tangan.
Aku berjanji untuk menjadi penyokong Kevin.
Kevin memelukku, tanpa kata-kata aku tahu ini caranya mengucapkan terima kasih.
Kami mengobrol untuk beberapa lama. Setelah otot-otot punggung dan kaki mulai sakit, aku dan Kevin berdiri. Topik pembicaraan kami berubah menjadi hal-hal ringan. Kami membicarakan pertandingan final nanti. Kami membicarakan tentang lomba pidatoku.
Segalanya terasa berjalan normal.
Kevin bergabung dengan Damar dan teman-temannya, bermain kartu dan mengobrol. Aku beranjak ke kamar. Barulah aku ingat tentang Lisa. Aku bingung. Haruskah aku memasang tampang polos? Atau aku menunduk saja? Kalau aku ada di posisi Lisa, aku akan sangat malu.
Ah, terjadilah yang harus terjadi.
Aku membuka pintu kamar. Senyum palsuku terpasang.
Dina sedang duduk di atas kasur. Barang-barang Lisa dan Aurora berserakan. Wajahnya menekuk. Dina terus menggerutu sementara dia sibuk beres-beres.
"Loh, Din." Kataku. "Kenapa cemberut?"
Aku tidak melihat Lisa dan Aurora.
"Menurutmu karena apa?" Dina mengacungkan pouch riasan Aurora ke arahku. "Ya karena dua orang ini. Ih, serius. Aku pengin cakar mereka berdua."
Aku ikut membantu Dina beres-beres. "Memangnya... apa lagi yang mereka lakukan?" Kataku hati-hati.
Dina mengentakkan kaki. "Enggak tahu. Mungkin bosan di sini. Tiba-tiba saja Lisa minta pulang dan Aurora langsung pergi bareng dia."
Aku kaget. "Lalu? Kok ini ditinggal?" Tas Lisa dan Aurora masih di pojokan. Pernak-pernik mereka berdua diletakan di meja kecil samping tempat tidur. Aku melihat sendal Aurora di depan pintu.
"Itu dia yang bikin aku kesal." Dina misuh-misuh. "Mereka pulang cuma bawa dompet dan ponsel. Sisanya kita yang ngurusin dan bawa pulang. Huh, enggak lagi-lagi nginep bareng mereka. Aku nanti bilang ke Damar, kalau mereka mau ikut-ikut, jangan dikasih."
Aku tahu ini jahat tapi aku lega Lisa pulang. Dengan begitu, aku tidak perlu menghadapi atmosfir canggung setiap kali bertemu dengan dia.
"Ambil positifnya." Aku nyengir. "Hari ini kita enggak perlu berbagi kasur."
KAMU SEDANG MEMBACA
Diam-Diam Suka
Teen FictionWaktu Gia si nerd SMU Harapan jadi manager sepak bola, semua pada kaget. Karena cewek itu terkenal pantang buang-buang waktu untuk hal yang enggak penting. Waktu Gia menjurus punya hubungan teman tapi mesra dengan Kevin, semua orang biasa saja karen...