Kadang-kadang aku menyesal memutuskan jadi manajer klub sepak bola SMU Harapan Bangsa. Kalau sedang kumat, cowok-cowok ini bisa lebih menjengkelkan dari anak balita tantrum karena tidak dibelikan lolipop. Kelakuan mereka bisa bikin Santo Kudus mengumpat dengan sederetan kata-kata kotor.
Belum lagi bau badan mereka. Pertama kali aku masuk ruangan klub, aku berjengit. Otomatis menutup hidung. Bau apak bercampur keringat membuatku ingin muntah.
Sejak masuk klub bola, aku hapal dengan segala macam perkakas rumah tangga. Kenapa? Karena mengurus cowok-cowok ini termasuk tanggung jawab manager klub. Mulai dari memastikan kecukupan makanan, kebersihan peralatan, sampai ke masalah cuci seragam.
Titelnya saja manajer. Tugas dan fungsinya setara beban pekerja paksa di jaman penjajahan. Aku beberapa kali ingin menyerah. Orang tuaku tidak menyekolahkanku untuk melipat kaos kaki.
Kevin.
Satu-satunya alasanku bertahan cuma dia. Kalau Kevin, entah karena alasan apa, cabut dari klub maka detik itu juga aku melepas jabatanku. Peduli amat kalau anak-anak klub hilang arah, jadi liar macam binatang di taman margasatwa.
Aku baru saja membahas teknis perjalanan klub menuju pertandingan final dengan bagian administrasi. Lokasi dan persiapan membuat peserta harus pulang cepat yang mana membutuhkan ijin kepala sekolah. Pengawas kesiswaan ingin memastikan daftar nama yang ikut sekaligus menekankan jangan sampai ada yang menumpang nama, menyelundup pulang memanfaatkan situasi.
Seolah aku membiarkan itu terjadi.
Kupercepat langkah kakiku, berbelok menuju lapangan sepak bola. Bel pulang sekolah berbunyi sejam yang lalu dan latihan klub sudah dimulai. Sekolah mulai lengang, tinggal yang punya kegiatan ekstrakulikuler.
Atau yang tidak punya kerjaan.
Aku mengerang pelan. Di belokan menuju lapangan, Lisa dan Aurora berdiri menyender ke tiang lorong.
"Hey, Gi." Kata Aurora, menegakkan punggung. Dia maju selangkah, jelas sebagai isyarat agar aku berhenti.
Lisa tersenyum manis. "Kemana aja? Kita udah nunggu lama."
"Urusan klub." Kataku.
"Badanku sampai pegal." Tatapan Aurora menuduh, seolah aku sengaja mengulur waktu.
Hih, dasar aneh. Aku menahan bibirku. Jangan sampai aku bicara banyak yang bikin diriku sendiri kena masalah. Selama ini, aku dan geng Aurora sama-sama tahu kami saling tidak suka tapi memutuskan menjaga jarak. Semacam kesepakatan tidak tertulis antara aku dan cewek-cewek centil ini. Ibarat antara serigala dan singa yang berbagi wilayah. Kalau kamu tidak menggangguku maka aku tidak akan mengganggumu.
"Ra." Lisa sedikit merengek.
Aku sebetulnya tidak ingin kasar pada Lisa. Sebagai balerina yang sedang merintis di jalur profesional, Lisa Orion memenuhi ekspektasi umum tentang perempuan elegan. Lisa selalu tampil layak, rapi dan anggun. Badannya... tipis. Ada kesan rapuh dan lembut setiap kali dia bergerak. Mungkin aku akan jadi penggemar beratnya kalau saja Lisa tidak bergaul dengan... cewek yang salah.
Aurora menarik napas, memutar bola matanya. Bahunya sedikit lebih lemas, seolah membiarkan Lisa mengambil alih kendali situasi.
Aku mengernyit. Ini peristiwa langka. Aurora terkenal protektif. Dia selalu yang terdepan mewakili segala urusan menyangkut sahabat slash dayang slash pengikutnya. Apalagi kalau sudah menyangkut Lisa. Aurora bisa lebih galak dari singa yang sedang melindungi anak-anaknya dari bahaya.
Senyuman Lisa semakin lebar dan ramah. "Jangan pedulikan dia." Nada suara Lisa melodis, terdengar menyenangkan di telinga. "Apa kabar, Gi?"
"Hah?" aku melongo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diam-Diam Suka
Teen FictionWaktu Gia si nerd SMU Harapan jadi manager sepak bola, semua pada kaget. Karena cewek itu terkenal pantang buang-buang waktu untuk hal yang enggak penting. Waktu Gia menjurus punya hubungan teman tapi mesra dengan Kevin, semua orang biasa saja karen...