Aku meuruni tangga sambil bernyanyi kecil, tapi senyumku seketika menghilang ketika mataku menabrak siluet pemuda itu tengah membaca koran di meja makan. Sepagi ini dia sudah di sini ? Atau jangan-jangan dia memang tidak pulang? ah, minat sekali ya dia deketin Mbak Santi sampai segitunya.
“Pagi, Za!” Dia menyapaku tanpa menoleh padaku dan tetap asyik dengan korannya.
“Pagi juga....” balasku tanpa melihat kearahnya.
“Eh, pagi, Zein. Udah sarapan? Za … bikinin Zein kopi dunk. Kakak repot nich.”
Aku melirik Mbak Santi yang sibuk dengan alat make-upnya.
“Mbak, kalau dandan jangan di meja makan ngapaw? Kena makanan tahu bedaknya.” Aku bangkit dan menyiapkan kopi untuk kekasih Mbak Santi.
“Ndak, Za. Dikit doang. Kamu kayak e perlu belajar dandan juga Za biar cepet punya pacar. Dari dulu jomblo terus, Za.” lanjutnya.
Aku meletakan kopi di depan Mas Zein beserta mug kecil wadah gula, siapa tahu kopiku kepahitan. Meletakan mampan kembali ke tempatnya dan mengambil kotak bekalku.
“Ndak penting itu, yang penting itu suami yang bisa membawa kita ke surga, yang bisa jadi Imam kita di dunia dan yang terpenting bisa jadi pengayom kita,” ujarku sambil mengambil dua potong roti tawar dan meletakan salah satunya di dasar tempat bekalku.
“Sok dewasa kamu, Za,” timpal Mbak Santi tanpa melihat ke arahku dan terus asyik membenarkan Make-upnya.
“Bukannya sok dewasa, Mbak. Tapi kata Ayah gitu. Lagi pula buat apa wajah di gambar kayak gitu. Ndak alami, bikin rusak kulit, mending alami ... ngirit.” jawabku asal sambil meletakan nasi goreng di atas roti tawarku, mengiasinya denga potongan tomat dan taburan keju kemudian menutupnya dengan roti lagi.
Uhuk … Mas Zein kesedak entah karena ucapanku atau karena kopi buatanku, reflek kusentuh punggungnya pelan dan bergegas mengambil kotak tisu dan meletakan di depan Mas Zein.
“Lihat, Zein saja sampai kesedak lihat kelakuan anehmu.” Mbak Santi menunjuk makanan yang selesai aku buat untuk bekalku . Nasi goreng keju special mix roti tawar ala ceft Zaza. Aku mencibir saja.
“Ayah sama Ibu kemana? Kok sepi?” Aku baru tersadar jika kedua orang tuaku sedari tadi tak juga muncul di meja makan.
“Baru nyadar? Ayah sama Ibu pergi ke rumah Bu Dhe, subuh tadi baru berangkat ada acara di sana.” Mbak Santi akhirnya selesai memoles wajahnya. Aku membereskan bekalku dan memasukannya ke dalam tas.
“Za, bareng kita aja sekalian, searahkan?” tawar Mas Zein sambil melipat korannya dan memakai jasnya, jujur ada kekaguman yang terlintas di kepalaku saat aku melihat sosoknya yang terlihat sempurna itu, dalam hati aku melafal doa agar sosok seperti ini kelak bisa menjadi Imam dalam hidupku.
“Ndak usah, Mas. Aku bawa kendaraan sendiri.”
“Hala ... lagakmu, Za. Kendaraan sendiri apa? Sepeda onthel gitu kamu bilang kendaraan, makanya Za, kalau di kasih motor jangan di ceburin di empang?” ucap Mbak Santi.
Aku hanya mencibir, menyalami mereka dan berlalu, mengayuh kendaraan pribadiku ke sekolah
***
Suasana makan malam kali ini terasa berbeda, biasanya acara makan malam ini di isi wejangan dari Ayah dan Ibu, tapi malam ini hanya ada ocehan Mbak Santi yang dengan semangatnya membicarakan masalah teman-temannya dan masalah kerjaannya. Aku memasang earpone dan mulai mendengarkan lagu kesukaanku yang lebih indah dari kicauan Mbak Santi dan pacarnya.
“Mbok, sudah malam istirahat saja. Biar Za aja yang beresin nanti” kataku saat kulihat Mbok Jum masuk ke dapur.
Wanita tua itu terlihat capek dan mengantuk, beberapa kali aku melihatnya menguap. Si Mbok tidak menyahuti ucapanku, entah karena tidak mendengar atau memang tidak ngeh. Akhirnya aku bangkit menghampiri Mbok Jem yang masih asyik melap meja dapur, aku menepuk pundaknya pelan. Saat dia mandangku, aku balas menatapnya tajam, seolah mengerti dengan keinginanku dia pun segera berlalu dan kembali ke kamarnya. Aku kembali ke meja makan, memasang kembali earponku dan melanjutkan makanku tanpa menoleh ke arah dua makhuk yang sedang asyik mengobrol itu.
Akhirnya acara makan malam yang membosankan ini selesai juga, Mbak Santi kembali ke kamarnya tanpa membereskan peralatan makannya, seperti biasa. Hanya tinggal Mas Zein yang masih duduk di sana sambil memainkan dadgetnya.
Dengan cekatan aku membereskan meja makan dan membersihkan dapur. Sesaat kemudian aku kembali ke meja makan dan baru kusadari ternyata earphoneku sudah tidak ada, yang ada hanya handponenku saja, seingatku, tadi aku melepaskannya jadi satu dengan handphoneku, aku mulai jongkok ke bawah meja berharap earponeku jatuh di sana.Tapi tetap saja aku tak menemukannya.
“Nyari apa, Za?” Mas Zein bertanya padaku tanpa mengalihkan pandangannya dari i-padnya.
“Earphoneku Mas, tadi aku letakin di meja kok ndak ada ya?” jawabku sambil terus celingukan ke sana kemari mencari benda mungil itu.
“Nyari ini?” kata Mas Zein sambil mengeluarkan benda kecil dari kantong bajunya. Aku terlonjak gembira ketika mengenali itu earphoneku.
Lega rasanya ketika tahu benda itu tidak hilang hanya saat ini berpindah ke ke tangan Mas Zein, Tanganku terulur hendak meraihnya ketika dengan sigap dia memasukan kembali earphone itu ke saku bajunya lagi, reflek aku menarik tanganku kembali.
“Mas akan berikan ini, setelah kita selesai bicara. Ada yang ingin mas bicarakan denganmu, soal kamu dan Santi. Jadi duduklah dengan tenang, jangan menyela atau pun memotong apa yang akan Mas sampaikan, Za mengertikan?” ucapnya lagi.
Aku mengangguk tanpa berani mendongakan kepala menatap wajahnya yang kini terlihat serius. Aku duduk di hadapannya dan menekuk muka, pikiranku mulai bermain-main dengan seribu tebakan tentang apa yang akan ia sampaikan
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku dan Kamu
General FictionSejak dulu kamu adalah milikku tanpa kamu sadari. Kita terikat dan tak akan pernah terlepas, aku akan selalu jadi pelindungmu karena kamu adalah miliku.