Bab 8

159 9 0
                                    

Siang ini terasa menyengat, sudah beberapa hari ini matahari seakan menunjukkan kegarangannya.

"Za... maafin gue ya?" jonathan menatapku dengan wajah memelasnya.

"Lo kenapa sich, Jo? Kok jadi aneh gini?" tanyaku sambil mengernyitkan alis.

Jujur aku merasa aneh dengan sikapnya selama ini yang berubah dratis dalam hitungan hari. Ok, dia memang jahil dan semaunya sendiri, tapi lebay? Kok baru sekarang ya aku menyadarinya.

"Gue begini gara-gara Elo!" ucapnya membuatku terbelalak.

"Lho, kok gue? Emang gue ngapain?" tanyaku kepo

"Tunangan lo itu yang bikin gue begini,"

"Tunangan?" Aku tambah kepo.

"Iya, tunangan lo itu yang bikin gue kayak gini. Kalau tidak gara-gara pingin ngalahin dia, mana mungkin gue sampai kayak gini?" ucapnya sambil beranjak pergi. 

Aku hanya diam melihat kepergian jonatan yang menghilang di antara riuhnya murid yang lalu lalang.

Pikiranku kini berkecamuk lagi, tunangan? Siapa? Mas Zein? Tidak mungkin, pasti bukan dia. Apalagi selama ini yang kutahu dia juga punya kekasih diluar?

Siang itu aku masih enggan untuk pulang, jam sudah menunjukan pukul 15.40 wib. Aku masih asyik dengan kesendirian, menikmati suasana di taman.

Drrttt ... drrrt ... teleponku berdering. Aku mengamati nama yang tertera di layar handpone. Mas Zein? Aku masih enggan untuk mengangkatnya. Sejenak aku terdiam dan menatap kosong ke arah depan, memandang hamparan hijau yang melambai. Tak kuhiraukan teriakan handpone yang kini makin sering terdengar hingga akhirnya kebisingan itu mereda.

"Za!"

Aku terlonjak kaget ketika kudapati sosoknya sudah berdiri di sampingku, wajahnya terlihat lelah.

"Kenapa tak angkat teleponnya? Ayo pulang." 

Aku mengekori langkahnya dari belakang.  Penampilanya terlihat berbeda.

"Mas, Aku aja yang bawa mobilnya,"

"Bisa?"

Aku mengangguk. Dia menyerahkan kunci mobilnya dan masuk ke dalam mobil, setelah membuka kuncinya.

Saat aku berada di belakang kemudi aku merasakan ada sesuatu yang tak asing buatku, tanpa sadar aku tersenyum.

"Kenapa, Za?"

"Entahlah, sepertinya aku tak asing dengan suasana ini. Sepertinya aku pernah mengemudikan mobil ini sebelumnya. Aneh ...."

"Begitukah? Bangunin aku kalau sudah sampai rumah, ya."

Aku meliriknya sekilas dan mulai menyalakan mesinnya. Matanya terlihat terpejam, tanpa sadar aku mendesah, jadi kayak sopir sekarang. Aku memonyongkan bibirku menirukan ucapannya.

"Jangan menggoda seperti itu, minta di cium ya?"
Aku membekap mulutku dengan kedua tanganku. Aku memalingkan wajahku menatapnya. Matanya terpejam rapat, ada bulir keringat di sana? Aku menyentuh dahinya pelan. Panas...

"Mas, demam. Pantesan kusut."
Aku pun melajukan mobilnya, pikiranku kini terbagi antara jalanan dan Mas Zein.

"Za, jangan melamun,"

"Iya...."

"Za... jangan ngelirik terus, lihat jalan,"

"Iya, baweell ... diam ngapaw, udah sakit masih aja bawel!" sepanjang jalan aku masih aja ngedumel tanpa suara. Ingin sekali kugetok kepalanya tapi melihat wajahnya yang pucat aku jadi tak tega.

"Za...."

Aku makin panik mendengar igoannya yang makin sering itu, apalagi jarak ke rumah masih sangat jauh. Keringat dingin mulai membanjiri wajahnya.  Tidurnya gelisah. 


Aku dan KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang