Bab 9

245 10 0
                                    

Akhirnya sampai juga aku di rumah, dengan sempoyongan aku membawa Mas Zein ke kamar bawah. Rasanya tak sanggup jika harus membawanya ke kamar atas. Dengan sigap aku ke atas mencarikan baju ganti untuknya, kemejanya sudah basah oleh keringat. Rumah sudah sepi, si Mbok juga sudah tidur, Mbak Santi juga ndak ada suaranya. Ah, terpaksa ngurusin Mas Zein sendirian. Setelah beberapa saat mondar-mandir kayak setrika tanpa kabel aku pun kembali ke kamar bawah.


"Mas ... bangun, makan sedikit ya trus minum obatnya," matanya masih terpejam rapat. Aku menyentuh pipinya pelan.


"Mas ... ayo bangun sebentar, makanlah meski cuma sedikit," Dia tetap tidak bereaksi.


Entah mengapa aku jadi teringat sesuatu, entah itu apa.

"Aaakkhhh...." entah mengapa aku jadi gusar seperti ini. Kembali kubasahi handuk kecil itu dan kuletakkan di dahinya. Melihat kondisinya seperti ini aku jadi ndak tahan. Aku segera bangkit dan mengambil obat di nakas. Aku jadi gemas pingin melakukan sesuatu, terserah ajalah kalau habis ini dia ngamuk. Masa bodo dah, yang penting obat masuk.

Aku memasukan obat kedalam mulutku dan menciumnya. Semula dia diam tapi sejurus kemudian aku merasakan dia bereaksi. Dia membalasnya. Buru-buru aku melepas ciumannya dan bangkit.


"Jangan di buang, itu obat!" Teriaku saat kulihat dia hendak membuangnya. Aku mengulurkan minuman kearahnya, dia pun menyambarnya dan meminumnya. Minumannya tersisa sedikit dan kuhabiskan.


"Za, itukan bekasku,"


"Masa bodo, pahit tahu...." Dia hanya tersenyum padaku.


"Makan dulu ... dari tadi susah banguninnya, bikin frustasi,"


"Ih, kamu itu ... ngurusin orang sakit kok cemberut gitu, mana bisa sembuh pasiennya,"


Aiihhh ... dia ini ... masih juga bisa bertingkah. Aku mengambil mampan makanan dan meletakannya di samping tempat tidur kemudian menyuapinya hingga makanan itu tandas.


"Malam ini, tidur di sini saja. Besok kalau udah enakan baru pindah kamar,"


"Iya, bawel. Ih, ndak berubah dari dulu ...sama aja ternyata."


"Apanya yang dari dulu ... aku bawelnya juga baru sekarang kok," aku beranjak dari tempat tidurnya.


"Biasanya kalau sakit gini aku dapat vitamin sich, biar cepet sembuh,"


"Vitamin? Dimana naruhnya?"


"Kau pasti tahu tempatnya...."


"Ya udah, nanti kucarikan. Aku mau mandi dulu,"


"Yang bersih, Za. Biar awet nanti...."


Aih ... apa pula maksudnya ngomong kayak gitu. Aku meletakkan mampan di dapur dan beranjak naik kembali ke kamar atas.

Segar rasanya badan terkena guyuran air dingin, rasa gerah dan capek hilang seketika. Aku jadi teringat dengan vitamin yang dimaksud Mas Zein.

Bergegas aku ke kamarnya dan mencari vitamin yang dimaksud, tapi tak aku temukan yang juga vitamin itu.

Sebel juga ... pasti dia ngerjain aku lagi kali ini. Ih.. dasar mesum...


Hastsyyiin.. hah, secepat inikah aku tertular? Kok bisa? Padahal kan tadi cuma minum airnya. Aku nenepuk jidatku sendiri. Ya ampun.. ciuman... sepertinya aku butuh obat sekarang.. atau akan ikutan tepar seperti Mas Zein.

Aku bergegas turun ke bawah setelah menyambarbtas sekolahku.


"Mbak Santi ...?" mataku terbelalak melihat Mbak santi sudah ada di dalam kamar dengan pakaiannya yang minim. Mas Zein masih menutup matanya. Entah dia menyadari kehadiran Mbak Santi atau tidak.


"Ngapain Mbak di sini?"


"Za ..., tidak ada. Mbak cuma pingin lihat keadaan Zein saja," kilahnya.


"Dengan baju seperti itu? Yang benar saja Mbak ... jangan aneh-aneh dech, mendingan sekarang mbak keluar. Biar mas Zein bisa istirahat."


"Kalau mbak ndak mau? Lagi pula Zein pasti suka Mbak temani,"

Braaak.... aku membanting tasku ke atas meja.


"Sepertinya dulu aku pernah dengar kalau rumah ini atas namaku. Jadi ... aku berhak melakukan apapun di sini. Termasuk membuat peraturan dan larangan di sini. Jika Mbak suka ya terserah. Mbak tahu kan harus bagaimana?"


"Kamu ngusir mbak, Za?"


Aku hanya mengangkat bahu saja. Mbak santi menghentakan kakinya meninggalkan kamar.

Aku mendengar suara terkekeh, kulihat Mas zein sudah membuka matanya, entah sejak kapan.


"Apa lihat-lihat, tidur...!" Aku menatap garang kearahnya. Dia hanya mendecak saja dan kembali menutup matanya.


Hastsyiiing... sial, sepertinya flu ini bertambah parah. Aku segera mengacak-ngacak kotak obat.


"Mas tahu obat yang mujarab buat flumu, Za. Jadi ndak usah repot bongkar kotak obat," ucapnya tenang.


"Udah dech, Mas. Ndak usah mesum ... tidur aja sana," ucapku tanpa menoleh kearahnya.


"Ngeyel...."


"Biarin...." Aku beranjak meninggalkan kamar dan ke dapur untuk mengambil minum. Entah kenapa tenggorokanku rasanya sakit, mungkin aku terkena radang.


"Non, Za. Ngapain malam-malam begini ke dapur?" suara si Mbok mengejutkanku, entah sudah berapa lama dia berdiri di sampingku.


"Haus Mbok, tenggorokanku sakit." aku menghabiskan minumku hingga tandas.


"Den Zen sakit ya?"


"Kok Mbok tahu?" aku menatap Mbok Jum penuh selidik, wanita tua itu hanya tersenyum penuh arti. Membuatku makin penasaran.


Aku meninggalkan dapur dan kembali ke kamar. Mas Zein sudah kembali terlelap. Perlahan aku mendekati ranjangnya dan kembali membasahi handuk kompresnya. Wajahnya sudah terlihat tenang.. sepertinya obatnya mulai bereaksi. Aku kembali ke kursi belajarku.

Hatsyiing ... sial, kalau bersin terus begini, gimana bisa aku belajar. Kepalaku juga agak berat lagi. Sepertinya aku harus meyerah dulu sebentar, mungkin tidur sebentar bisa mengurangi pusingku.

Aku pun beranjak ke sisi ranjang sebelah Mas Zein. Kepalaku terasa berat sekali, tak sanggup kalau harus naik ke atas.

Aku dan KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang