Bab 5

120 10 1
                                    

Hari ini hidup baruku akan dimulai, petualangan kecil bersama si Jontor alias jonathan sableng akan di start.

Semua hidangan sudah rapi di atas meja, termasuk koran pagi  kecuali kopi. Mbak Santi sendiri yang akan membuatkannya. Aku sudah rapi dengan seragam sekolahku, kali ini aku sengaja bangun lebih awal dan menyiapkan bekal terlebih dulu sebelum mandi.

Pagi ini Mas Zein turun dengan kemeja putihnya yang di gulung sebatas siku, seperti biasanya. Jas di bawa begitu saja dengan tas kerjanya. Begitu melihatnya turun, aku  segera mendekati Mbok Jum dan pura-pura sibuk agar dia tak mendekatiku. Sengaja aku duduk jauh darinya, tak lama kemudian Mbak Santi dengan dandanannya yang "wow" telah muncul, tanpa babibu dia langsung mencium Mas Zein, aku pun cuek berlagak tak melihat adegan panas itu. Meski hatiku mulai terasa panas.

Tin...tiinn

Aku tersenyum ketika mendengar bunyi bel itu, bergegas aku bangkit dan mengambil tasku dan segera melangkah keluar.

"Mau kemana, Za?" tanya Mas Zein ketika dengan cueknya aku melewati mereka tanpa menoleh.

"Berangkat, hari ini ujian. Jadi mesti berangkat pagi," sahutku

"kenapa ndak bilang, Za?"

"Kenapa mesti bilang, emang Mas siapanya Za?" Aku segera berlalu tanpa pamit pada mereka. Terserah mereka mau mikir apa masa bodo, katanya ndak suka tapi di cium Mbak Santi juga ndak nolak.

Sampai di halaman depan aku langsung naik keboncengan dan memeluk pinggang Jontor erat sepertinya aku perlu pinjam punggung Jontor saat ini.  Sampai di parkiran sekolah aku bergegas turun tanpa memperdulikan Jonathan yang masih asik menata jambulnya.

"Ngapain Lo nangis? Kangen gue lo?"  Aku langsung melangkah pergi tanpa menghiraukan ucapannya.

"Hay, Monyong. Ndak usah salah tingkah gitu ngapaw? Tu helmnya dilepas dulu!" aku baru sadar jika masih mengenakan helm, mau tak mau aku pun balik badan kembali ke parkiran.

"Ya ampun monyong. Aku ndak nyangka, lo sampai terharu gitu gue bonceng. Teringat masa lalu lo?" katanya lebay. Wajahnya menyunggingkan  senyum kepuasan.

"Sharap lo...." balasku sambil berlalu pergi.

"Hahaha... Monyong, tangismu mengalihkan duniaku, hahahaha," teriaknya lagi. aku mempercepat langkahku menuju kelas. Tak kuhiraukan lagi teriakan lebaynya yang semakin memalukan.   

Sepanjang ujian aku berusaha untuk tetap fokus meski jujur saja peristiwa itu tetap saja mempengaruhiku. Sepertinya aku benar-benar jatuh cinta sama Mas Zein tapi dia tidak, dia Cuma sayang sebagai adik, dia sudah punya kekasih
. Lalu kenapa aku harus marah, aku bahkan tak berhak untuk marah ataupun cemburu.

Dasar... Zaza bodo... cemburumu sia-sia. Pikiranku semakin kusut, lebih khusut daripada benang khusut. Segera  kukumpulku kertas ulanganku dan berlalu keluar, entah seperti apa jawabannya aku tak peduli. Sepertinya aku perlu pendinginan sekarang.

Aku melangkahkan kakiku menuju halaman belakang, Suasana senyap tampak sekali di area sekolah karena memang masih jam ujian.

 Tempat paling indah untuk di tuju saat galau adalah rumah ibadah, bukan café, Mall atau dukun. Disinilah aku sekarang, di tempat tenang. Tempat paling indah dan tempat curhat, di sela doa terakhirku relintas sesuatu dalam benakku, Mas Zein...aku melepaskan mukenaku dan ketika aku membalikan badanku aku melihat sosok yang sangat kuhapal sedang duduk membelakangiku.

"Mas Zein ngapain ke sini?" sungguh ini bukan mimpi,sosoknya kini ada disini, di mushola sekolahku.

"Mas cuma mau tahu sekolahmu,"

"Bohong, sejak kapan Mas di sini?"

"Sejak liat kamu keluar kelas," ucapnya santai.

"Kenapa Mas ndak manggil?" tanyaku penasaran sambil memakai sepatuku.

"Emang kamu mau? Emang kamu ndak bakalan lari liat Mas?" tanyanya pas sasaran. Aku hanya diam saja mendengar ucpannya.

"Trus Mas ke sini mau ngapain?"  tanyaku lagi tambah penasaran karena sikapnya yang tambah ndak masuk akal ini.

"Mas cuma mau bilang, pulangnya naik taksi aja. Ndak usah nebeng motor lagi." katanya penuh penuh penekanan.

"Cuma itu?" jujur saja aku berharap lebih dari sekedar kata perintahnya saat ini.

Dia memgeluarka sesuatu dari sakunya dan meletakannya di tanganku.

"Jatahmu, itu hakmu...." katanya datar

"Maksudnya?"

Belum sempat dia menjawab teleponnya berdering, wajahnya tampak sumringah. Senyum manisnya tampak menghiasi wajahnya  selama pembicaraan berlangsung dengan si penelpon  padahal denganku saja dia tak pernah begitu, sayup-sayup aku mendengar suara itu seperti suara cewek...apa itu pacarnya?

Aku menundukan kepalaku,memainkan ujung tali sepatuku. Aku berharap setelah ini dia akan menjelaskan sesuatu padaku.

"Mas balik kantor dulu, ada urusan. Inget jangan nebeng, kamu tanggung jawab Mas sekarang. Tugasmu cuma mikir sekolah yang lainnya biar Mas yang urus termasuk Santi. Denger Za?" Aku hanya mengangguk saja tanpa mengangkat kepalaku, aku masih asyik bermain dengan tali sepatuku dan  juga pikiranku.

"Aduh Za...kok gini Za?" aku mendongakan kepalaku dan kulihat Mas Zein sedang meliukkan badannya, tangannya menggaruk ke bagian tubuhnya, berpindah-pindah.

Aku bangkit, ikutan panik sambil menelus-elus tubuhnya. Pikiranku jadi tak karuan melihatnya begini, apa karena makananku tadi pagi? Tanpa sadar aku juga mengelus pipinya.

"Nah, kalau ginikan bekasnya Santi ilang, yang ada bekasnya Za doank ...jadi jangan cemberut  lagi ya." ucapnya santai sambil cengengesan, sontak aku tersadar kalau aku sedang di kerjain, sia-sia sudah panikku kali ini. Sebagai balasannya aku menghujaninya dengan cubitan hingga membuat  tubuhnya meliuk menghindari cubitanku.

"Mas ni, jahil banget ih. Udah sana balik kantor. udah di telepon kan tadi,"

"Ya ampun lupa aku, makasih ya Za diingetin.cantik dech kamu," aku hanya mencibir saja mendengar bualannya yang kini mulai  sering keluar itu.

 Mas Zein mencium pipiku sekilas dan berlari meninggalkan aku yang masih setia memandangi tubuhnya yang menjauh. Sebenarnya apa yang dia mau? Tak pernah ada kata cinta tapi seenaknya saja main peluk dan cium orang, tapi aku juga yang salah karena membiarkan semuanya terjadi. Lalu dia mau kemana? Ke kantor? atau bertemu dengan cewek yang tadi menelponnya?  Aku jadi mengerang kesal membayangkan kemungkiman kedua lebih dominan daripada  pertama. Dan hatiku kembali terasa nyeri.


Aku dan KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang