Bab 10

117 6 1
                                    

Tengah malam aku terbangun, tenggorokanku terasa kering.   Malam ini entah kenapa pikiranku jadi tak tenang. seteguk air dingin mungkin bisa membuatku sedikit tenang.

Ada banyak hal yang menggangu pikiranku selama ini dan aku ingin jawaban pasti tentang semua ini. sebenarnya ada apa antara aku dan Mas Zein, kenapa sifatnya seperti itu padaku. Dia begitu peduli padaku.

Dia tiba-tiba saja muncul dalam kehidupanku, mengawasiku setiap waktu seolah aku adalah periharaanya yang begitu rapuh. Sebenarnya ada apa ini?

Aku merebahkan tubuhku kembali di sofa, kepalaku terasa pusing, banyak hal yang tiba-tiba terasa sesak di dada. Bayangan gadis itu begitu menyiksaku. Sebentar lagi mereka akan menikah, itu berarti aku akan kehilangan Mas Zein. Membayangkannya saja rasanya aku sudah tak sanggup. Kehilangan cinta, perhatian dan juga ciumannya yang kini seperti candu buatku. 

Benarkah ini cinta? Kenapa rasanya sesakit ini. Setiap saat aku selalu merindukannya meski dia ada di dekatku. Aku sering cemburu jika tiba-tiba dia mengacuhkanku, lebih peduli pada ipadnya atau pada deringan ponselnya dan untuk mengalihkan semua itu aku lebih suka membenamkan diriku di kamar. Entah saat itu dia sadar atau tidak, dia pasti menebusnya dengan mengajakku jalan-jalan meski hanya sekedar nongkrong di warung depan...

Untuk beberapa saat aku terlelap, meninggalkan beban untuk sejenak.

 "Za ..." 

Panggilan halus membangunkan aku, kamar itu terlihat redup, apa ini masih malam. Aku tidak lagi di sofa, tapi di ranjang kamarku. Apa Mas Zein yang membawaku?

"Akhirnya kamu bangun juga. Ceroboh."

"Jangan memarahiku, kepalaku pusing sekali."

"Sudah kubilang aku punya obat yang ampuh untuk sakitmu."

"Udah dech Mas, jangan mesum." Aku menarik kembali selimutku.

"Makan dulu, kamu sudah terlalu lama tidur."

"Aku ndak lapar."

"Makanlah meski cuma sedikit dan minum obatmu. Apa perlu aku melakukan sama seperti yang kamu lakukan padaku?"

Ingatanku kembali saat aku memberikan obat itu padanya. Ah, harusnya dia tak perlu mengingat itu. Kutarik selimutku hingga menutupi seluruh tubuh.

"Tak perlu malu seperti itu. Aku sudah lihat semuanya."

"Aaa....!!" 

Apa yang dia lakukan? Dia jugakah yang mengganti bajuku. Ah tidak, apa yang harus aku lakukan sekarang?

"Aku keluar sebentar, makan dan minum obatnya. Jangan kunci pintunya!" Aku mendengar suara langkah yang menjauh. Perlahan aku membuka selimutku. Ruangan itu kembali sunyi. Perlahan aku bangkit, kepalaku masih terasa berat. 

Sejujurnya aku tak ingin lagi membuka mataku.  Aku lebih suka menutup mataku saat ini atau amnesia saja, rasanya saat ini aku benar-benar frustasi. Kuraih obatku dan menyembunyikannya di bawah tempat tidur. 

Kurebahkan tubuhku kembali. Aku berharap esok hari aku bisa melupakan semua. Malam ini pikiranku terasa buntu. Mungkin esok aku bisa pergi ke suatu tempat untuk menenangkan pikiran.

Ah, aku rindu ayah dan Ibu, kenapa mereka pergi lama sekali? Rumah ini terasa sepi tanpa mereka. 




Aku dan KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang