Bab 3

141 10 1
                                    

Aku masih diam menunduk, menunggu dengan cemas apa yang akan di bicarakan Mas Zein kali ini, apa ini tentang hubungannya dengan Mbak Santi? Kalau iya harusnya tak dibicarakan denganku kan?

 Sejenak Mas Zein seperti menghela napas, mematikan i-padnya dan berpidah tempat duduk di sampingku. Aku meremas tanganku di bawah meja, gelisah.  Aku benci suasana seperti ini. Ingin rasanya aku lari ke dalam kamar aja. Tapi aku penasaran juga dengan apa yang akan di bicarakan Mas Zein kali ini.

"Mas tahu kamu ndak nyaman dengan kehadiran Mas di sini, apalagi dengan sikap Santi yang seperti itu. Tapi asal kamu tahu, Santi bukan pacarku dan aku tak terpengaruh dengan apa pun yang dilakukan Santi. Satu hal yang perlu kamu tahu, aku sudah punya calon sendiri yang lebih berharga daripada Santi. Lebih cantik dan juga lebih seksi, dan satu hal lagi, dia lebih muda dari Santi, segigih apa pun dia merayuku, dia tak akan berhasil karena dia bukan tipeku."  

Kupingku  terasa panas mendengar ucapan Mas Zein yang seperti orang merendahkan itu. Kalau dia tak suka kenapa juga dia mau ditempeli Mbak Santi sampai seperti itu?  Dasar cowok, mulutnya emang suka belibet alias suka bohong.

"Jadi jangan pernah beranggapan kalau kamu jadi orang yang tak penting di antara kami. Bersikaplah sewajarnya dan jangan suka aneh-aneh karena aku tak suka. Satu hal lagi, jangan menghindari atau membantahku, kau dengar gadis kecil!"  lanjutnya penuh penekanan. 

Aku hanya menggangguk  tanpa berani berkata apa-apa, aku bahkan tak berani menatapnya atau pun  mebantah ucapannya

"Sudah malam, tidurlah. Besok kamu sekolahkan?"

Aku hanya membalasnya dengan anggukan kepala, setelah mencium tangannya aku bergegas bangkit tapi Mas Zein menarik dan memelukku. Tubuhku mendadak kaku. Dengan lembut dia mencium bibirku sekilas.

"Slamat malam, tidur yang nyenyak ya."  ucapnya lembut sebelum melepas pelukannya dan kembali ke kamarnya.

 Aku masih diam membatu di tempatku, memandang tubuhnya yang menjauh. Ingin rasanya aku melemparnya dengan kursi atau apalah yang saat ini ada di dekatku tapi apa aku rela melihatnya terluka meski dia  sudah mencuri ciuman pertamaku.  

Aku segera bangkit dan mencuci mukaku di westafell, berharap bekas ciuman itu hilang meski pada kenyataannya tak akan pernah hilang dari hatiku.

"Za, ngapain kamu?" Suara Mbak Santi mengejutkanku, sejenak aku mendongakan kepala menatapnya dan kembali membasuh wajah dan berkumur. Dalam hati aku berharap Mbak Santi tidak melihat atau pun mendengar apa yang terjadi barusan.

"Mbak belum tidur?" tanyaku mengalihkan perhatian, sebisa mungkin aku bersikap normal meski sekarang detak  jantungku berpacu dengan waktu.

"Mbak haus, makanya turun. Kamu habis ngapain sama Zein?" pertanyaannya telak membuatku terdiam. Sejenak aku menghela napas dan terdiam.

"Ingat ya, Za. Zein punya Mbak dan Mbak tak  akan melepaskannya meski itu untuk adik mbak sendiri dan asal kamu tahu, Zein tidak mungkin tertarik dengan gadis sepertimu, jadi jangan coba-coba menggodanya. Inget itu!" Mbak Santi berpaling dan meninggalkan aku yang sukses bengong dua kali sekarang.

Dengan langkah gontai aku menaiki tangga kembali ke kamarku. Sepanjang malam pikiranku terus berputar mengingat semua hal yang terjadi malam ini. Apa yang harus aku lakukan besok.

Aku sudah janji sama Mas Zein untuk tidak menjauhinya dan sekarang Mbak Santi terang-terangan memperingatkanku untuk menjauhi Mas Zein. 

Sepanjang  malam aku terjaga tanpa bisa menutup mataku barang sejenak, hingga akhirnya aku menumpahkan semua keluh kesahku pada Sang Khaliq yang memberiku impian dan kekuatan untuk menatap esok, meski aku sendiri tak akan pernah tahu takdir seperti apa yang kini tengah menantiku

Aku dan KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang