Bab 6

141 7 0
                                    

            

Masih terlalu awal untuk langsung balik ke rumah pagi ini, jam pelajaran sudah berakhir 10 menit yang lalu. Jadi kuputuskan untuk mampir ke Bank dulu, uang yang di berikan Mas Zein beberapa waktu yang lalu terlalu banyak untuk kubawa kemana-mana, setelah berdesakan dengan beberapa penumpang di angkot, akhirnya sampai juga di halaman sebuah Bank yang berdiri megah. Halaman depan Bank tampak ramai, bebarapa security berjaga di sana dan masih ada beberapa orang yang tampak berbincang.

Dengan langkah pasti aku memasuki gedung. Suasana di dalam lebih ramai, beberapa orang masih antri untuk mengisi struk dan  mengambil nomor antrian. Sambil menunggu aku memperhatikan sekeliling, memperhatikan lalu lalang orang  hingga akhirnya mataku menabrak  siluet seseorang yang berada di sebuah ruangan khusus yang di kelilingi dengan kaca transparan. Dia Mas Zein...

Dia tidak sendiri, seorang gadis bersamanya, gadis cantik berkulit putih dan berambut sebahu, pakaiannya sungguh modis. Usianya mungkin tak terlalu jauh denganku, itukah pacarnya? Bahkan Mbak Santi  kalah seksi dengannya, meski baju yang di kenakannya tidak senekad Mbak Santi tapi gadis itu tetap terlihat menarik, persis seorang model.

Mbak Santi saja kalah,apalagi aku? Apa aku ini di bandingkan gadis itu. Melihat mereka tertawa lepas seakan mengiris hatiku, senyum merekah itu bahkan tak pernah kurasakan saat dia ada di dekatku.

 Melihat kemesraan mereka saat ini aku seperti di sadarkan kembali, aku hanya mainan buatnya. Aku hanya pengganti sesaat, saat dia tidak bersama gadisnya. Cara dia mengusap kepala gadis itu sama persis dengan yang dilakukannya padaku. Ingin aku melempar mereka dengan bom atom agar hancur berantakan tanpa sisa, sama seperti perasaanku  saat ini tapi pada kenyataannya aku hanya bisa diam menyaksikan saja tanpa bisa berbuat apa-apa. Kubalikan badanku dan segera meninggalkan tempat itu. Sepertinya aku salah tempat  kali ini.

Dengan kesal kulemparkan tas sekolahku asal, kurebahkan tubuh di tepat tidur. Kerudungku pun sudah jatuh ke bawah. Marah dan gelisah. Hingga akhirnya tangisku pun tak bisa kubendung lagi. Rasa capek karena  menangis membuatku mengantuk  dan tertidur.

****

Barisan tulisan dihadapanku kini lebih mirip semut perang daripada kumpulan informasi yang harus kucerna, semua seperti tertahan di mata tak bisa masuk dalam lemari ingatan. Semua ingatanku kini dipenuhi kilasan kejadian tadi siang yang kini mulai menyiksaku.

"Aaaagggghhh!" teriakku frustasi mencoba mengusir bayangan itu dari pikiranku. Agar  tak  ada lagi mengganggu sarafku yang kurasa mulai bergeser karena memikirkan mereka.

"Sudah cukup! Tak akan aku biarkan kamu mepermainkan aku lagi, aku bukan mainan. Aku juga bukan tempat persinggahan yang bisa kamu datangi semaumu. Mulai sekarang aku akan melawanmu..akan ku kibarkan bendera perang padamu..aku tak takut padamungan, seenaknya saja melarangku dekat dengan Jonatan sedangkan kamu sendiri asyik pacaran.. mulai sekarang kita perang!" ucapku penuh semangat.

"Za...ngapain kamu? Berdiri di atas kursi  kayak gitu? Tu kepala kenapa di iket kayak gitu? Pusing?" Mas Zein tiba-tiba saja nongol membuka pintu kamarku tanpa permisi.  Sepertinya dia baru saja pulang, terlihat dari bajunya yang masih sama seperti yang di kenakan tadi pagi.

Buru-buru aku turun dari kursi dan menekuk mukaku. Duduk tenang meski hatiku gelisah. Dalam hati aku meruntuki diriku yang lalai mengunci kamarku. Seharusnya dia tak perlu melihat betapa semangatnya aku menirukan gaya pahlawan bertopeng ala sinchan kan. Kalau sudah gini kan...ahh...gimana mau perang kalau dah malu duluan.

"Mas ngapain ke sini? Ndak ngetok pintu," ucapku  agak sewot sambil melepas ikatan kain dikepalaku. Mati kutu sekarang.

"Kata Mbok Jem dari siang ndak turun makan, kenapa?" tanyanya .

"Ndak lapar, lagi pula juga bukan urusan Mas kan?" dia diam sesaat kemudian seulas senyum tergambar di sana.  Dia tetap tenang meski aku mulai emosi.

Aku beranjak bangkit dan berjalan melewatinya.

"Kamu kenapa sich, Za? Kok jadi aneh gini? Marah?" dia mencekal lenganku, pandangannya kini mulai serius.

"Lepas!"

"Tidak akan, sebelum kamu katakan ada apa ini?" ujarnya tegas. 

Aku menatapnya berani

"Mas itu yang kenapa? Seenaknya aja main peluk cium orang hah, kalau Mas udah punya pacar, sana! Pelukan sama pacarnya. Jangan jadiakan Za sebagai pelampiasan. Za bukan boneka yang bisa dimainin semaunya, Za punya hati Mas!" Aku mendorong tubuhnya hingga keluar kamar. Wajahnya tampak bingung hingga akhirnya cekalan tanggnya terlepas.

"Mulai sekarang kita musuhan!" teriaku sambil menutup pintu dengan kerasnya dan menguncinya. Ah, sepertinya sekarang aku harus lebih rajin masuk klub karate lagi...


Aku dan KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang