Bag 11

123 6 1
                                    

Suara orang berbicara di luar kamar membuatku penasaran. Sepertinya Mas Zein sedang bicara dengan seseorang. Kupertajam telinga mencoba mendengar apa yang dia bicarakan.

"Iya, Sayang. Tenang saja, aku baik-baik saja. Sudah mendingan."

Ah, ternyata dia sedang bicara dengan kekasihnya. Apa yang dia mau sebenarnya.

"Iya... besok kita ketemuan di tempat biasa. Bagaimana dengan gedungnya?"

Gedung? Gedung apa? Pertemuan atau ...

"Undangannya besok kucek lagi, kemarin masih belum fix kan. Gaunnya besok kita lihat, sekalian kita cari cincin."

Jadi, mereka merencanakan pernikahan. Tubuhku luruh ke tanah, pusing dan sakit hati ini mendera bersamaan. Tak ada lagi yang tersisa sekarang, aku kehilangan dia .... 

"Iya. Nanti saja aku bilang padanya.  Mau tak mau dia harus menerimanya juga kan?"

Jadi dia akan bicara dan meninggalkanku setelahnya. Harusnya dia tak perlu hadir dalam hidupku. Harusnya dia tak pernah muncul. Semudah itukah dia datang dan mengacak-ngacak semuanya. Tak bisakah dia sedikit berbelas kasihan padaku. Sekarang aku harus bagaimana? 

"Za ...!" ketukan di pintu mulai terdengar.

"Kok dikunci?'' 

Aku tak akan membukanya, meski dia berteriak seribu kali pun aku tak akan membukanya. 

"Ayolah, Za. Buka pintunya, Sayang."

Sayang? Semudah itukah dia berucap sayang pada semua gadis. Tak bisakah dia berlaku jujur. Sakit rasanya mendengar kalimat itu terucap darinya. Aku menutup telingaku, bersandar di pintu. Kepalaku pusing sekali. 

"Za ... buka pintunya."

Suaranya kini mirip dengungan lebah di kepalaku. Kepalaku bertambah berat, dunia terasa berat buatku.

****

"Hai kau sudah bangun?" Suara yang sama yang kudengar ketika aku membuka mata.

"Kau membuat semua orang panik. Sekali-kali nurut napa?"

"Bisakah Mas diam. Kepalaku pusing sekali."

"Ya, sudahlah, masih gelap. Tidurlah."

Aku memjamkan mataku. Badanku sakit semua. Aku harus sehat sekarang, banyak hal yang harus lakukan. Aku tak mau terlihat kalah di hadapnnya.  Ada banyak sekali rencana di kepalaku sekarang.

"Istirahatlah, kita akan lanjutkan bicara lagi nanti."

Masalah itu? Rasanya aku ingin melupakannya. Tidak ada yang perlu dibicarakan kalau pada kenyataannya aku sudah tahu. Cara terbaik adalah tidak mendengarkan ataupun mensdiskusikan hal ini. Mungkin ini bisa mengurangi sakit hatiku nantinya....

Dia naik ke tempat tidurku.

"Mas, ngapain?''

"Duduk di sofa terlalu lama membuat punggungku sakit. Lagipula tempat ini cukup besar untuk kita berdua."

Dengan tenang dia merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Perasaanku kini bercampur aduk. Dengan tenang dia memelukku. Wajahnya terlihat tenang seolah dia yakin apa yang dilakukan tak akan ber efek apapun padaku. Malam ini terasa panjang buatku.









Aku dan KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang