Bab 4

136 10 0
                                    

Jam sudah menunjukan pukul 05.30. ketika kuselesai menata sarapan di atas meja. Koran pagi sudah kuletakan di atas meja, kopi buat Mas Zein sudah siap.  langkah kakinya terdengar menuruni anak tangga. Dia mengenakan  kemeja biru yang masih belum dikancingkan  sempurna, lengannya juga masih di gulung sampai di siku. Senyum manis terlihat di sudut bibirnya.

Perlahan  dia mendekati dan tangannya terulur hendak mengacak kepalaku, tapi aku malah putar badan menjauhinya, akan lebih baik jika dia tidak menyentuhku apalagi ada Mbok Jum dan pasti sebentar lagi Mbak Santi akan segera turun.

"Non, buruan mandi, nanti keburu telat." Mbok Jum mengambil alih tugasku membersihkan dapur dan menyiapkan bekalku.

Bergegas aku ke kamar mandi bawah, beruntung tadi pagi aku tidak lupa membawa turun peralatanku, jadi bisa menyingkat waktu. Selesai mandi kulihat Mbak Santi sudah duduk manis di dekat Mas Zein, kali ini tanpa alat makeupnya, aku mengambil duduk agak menjauh dari mereka.

"Za ... mulai besok Mbak aja yang buatin Zein kopi ya," ujar Mbak santi dan kujawab dengan acungan jempol tanpa menoleh kearah mereka.

"Za... jarumnya jangan dimut gitu, ketelen nanti,"   lanjutnya dan kubalas lagi dengan acungan jempol lagi. Aku merapikan  kerudungku dan menyematkan jarum kecil di bawah daguku agar kerudungku bisa rapi dan tak acak-acakan.

"Non, ini bekalnya," Mbok Jem datang membawa kotak bekalku. Aku tersenyum kearahnya tanda terima kasih.

"Itu yang bikin Den Zan," bisik Mbok Jem di telingaku. Aku menatap Mbok Jem dan wanita paruh baya itu hanya mengangkat jempolnya sambil tersenyum dan berlalu.

Kubuka kotak bekalku ternyata isinya sama persis dengan yang kubuat kemarin, bagaimana mungkin dia bisa tahu seperti ini bahkan Mbok Jem saja tak tahu cara buatnya, aku hanya tersenyum  simpul.

"Makasih banyak Mbok!" ucapku sambil cengar-cengir .

"Ngapain Za senyum-senyum gitu, ke sambet ya?" Mbak Santi mulai sewot tanpa sebab, dan kubalas dengan cibiran. Kumasukan bekalku ke dalam tas dan aku  merunduk memakai sepatuku.

"Za, nanti pulangnya kamu naik bis ya... Mbak sama Zein ada acara," aku melirik mereka sekilas seolah aku bisa melihat mereka, aku mengcungkan jempolku tinggi.

"Za... kalau diajak ngomong tu mbok ya dijawab , jangan cuma jempol saja yang diangkat," sewotnya kelur lagi. wajahnya terlihat manyun. Sesekali dia melahap sarapannya dengan malas, Mas zein hanya diam sambil membaca korannya seolah tak terpengaruh dengan pembicaraan kami.

"Apa sich Mbak, iya-iya Za denger, biasanya juga Za naik bis kan" aku berdiri dan mengenakan tasku, Mas Zein ikutan bangkit dan membetulkan bajunya. Seakan mengerti dengan isyaratku, dia segera mengenakan dasinya.

"Sini aku betulin," tangan Mbak Santi terulur membetulkan baju Mas Zein.

Aku berlalu meninggalkan mereka menuju ke garasi, belum sempat aku menarik sepedaku, kurasakan ada yang menarikku menuju sebuah mobil yang terpakir tak jauh dari kami, dia diam tanpa suara dan  itu membuatku merinding.

Sepanjang perjalanan aku hanya diam, mencoba menikmati suara Mbak santi yang menjelaskan panjang lebar tentang acaranya nanti sore sambil sesekali tangannya terulur untuk menjamah Mas Zein.

Sejenak aku melihat kedepan dan aku tekejut ketika Mas Zei menatapku dari kaca atasnya. Aku mengambil salah satu bukuku dan menggunakannya untuk menutup wajahku agar mas Zein berhenti memandangku  dan aku rasa atmosfir di dalam mobil itu berubah sekarang. Kurasakan detakan jantungku tak senormal tadi.

Aku langsung ke luar dari mobil ketika mobil sampai di depan gerbang sekolah dan menutup pintunya dengan keras. Ini yang kedua kalinya aku menutup pintunya dengan keras, kuharap pintunya tak copot kali ini.

"Monyon ...!" kurasakan ada yang memeluk leherku hingga membuatku tertarik kebelakang. Reflek aku mencekal tangannya dan memuntirnya kebelakan  hingga  membuatnya berteriak kesakitan.

"Jontor..!" teriaku tak kalah seru saat aku menyadari siapa yang berteriak kesakitan itu. Kulepaskan puntiran tangannya. Jontor, bagaimana bisa dia ada di sini? Sebenarnya namanya Jonatan, dia tetanggaku samping rumah.

Setahuku dia sekolah di Malang dengan Neneknya, sebenarnya anaknya tampan tapi karena dia sering memanggilku monyong, cuma gara-gara aku pernah jatuh di depan rumahnya yang membuat bibirku monyong ke depan dan sebagai balasannya aku memanggilnya Jontor karena panggilannya Jo.

"Ngapain lo di sini?"  tanyaku heran melihatnya ada di hadapanku sekarang.

"Aku mulai  sekolah di sini, hari ini," katanya mantap sambil menatap gedung sekolahku.

"Hah, yakin lo?" aku sukses melongo di hadapannya, Ya Tuhan terimakasih Kau menjawab doaku. Jonatan... kau selamatkan aku dari gelap persimpangan hati ini. Setidaknya aku punya teman yang bisa kujadikan pengalihan dari Mas Zein. Semoga Jonathan tak akan keberatan dengan pikiranku ini  jika seandainya saja dia membacanya. Tanpa sadar aku tersenyum sendiri...

"Ngapain lo natap gue kayak gitu, modus lo?" katanya sambil menatapku aneh dan kali ini untuk kesekian kalinya aku berhasil menganiaya dia dengan buku yang kubawa, Ah biar saja otaknya bergeser kali ini, toch emang otaknya udah geser dari dulu.


Aku dan KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang