G:re Chapter 21 : Perkataan, rasa sakit (b)

388 72 3
                                    


          Puluhan panggilan tak terjawab memenuhi notifikasi. Ratusan pesan whatsapp beruntun berdesakan di layar utama. Tak ada niatan Azmi barang sebentar membuka aplikasi. Azmi hanya butuh melihat tanggal. Sudah berjalan dua bulan lamanya ia prakerin. Barang sekejap ia menumbuhkan rasa benci kepada sang kakak.

          "Pesan kakak," gumam Azmi melihat layar ponsel usang. "Kakak melupakannya."

          Azmi mulai menggali kembali, semua pesan yang tak pernah sekali pun mendapat balasan. Dua balasan dan itu pun diingkari oleh sang kakak.

           Gue tunggu di depan.

          Satu pesan mengalihkan fokus Azmi. Sangat jarang Ghaffar mengirim pesan langsung kepadanya.

          Sampai pagi, gue bakal tunggu.

          Keluarlah. Gue mohon.

          Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Hawa di sekitar akan semakin dingin. Tak ingin berlama-lama, Azmi menuruni anak tangga dan bergegas keluar gedung. Di pintu masuk dapat Azmi lihat siluet Ghaffar yang berdiri di depan pintu pembatas. Ghaffar tak ada niatan untuk masuk ke dalam barang ke pos satpam.

           Kakak sambung, dulu hingga sekarang sangat ia kagumi. Berusaha akrab dengannya sangat susah, ditambah Ghaffar yang selalu mengingatkan ia pada sosok kakak kandung.

          "Gue nggak akan basa-basi. Ayah sakit, lu nggak mau pulang?"

          "Ada kakak."

          "Kakak lu di sini, di rumah bunda Nana."

          "Suruh pulang aja ... ke Malang."

          Ghaffar berusaha menekan emosinya. "Dan lu?" Singkatnya.

          "Aku masih ingin sendiri, Mas."

          Dugaaan Ghaffar tepat, kupingnya memanas mendengar kalimat itu lolos dari lidah Azmi. "Ck, lu egois. Saat lu sakit, ayah bela-balain nggak tidur tau nggak!? Dan mama merawatmu dengan sangat baik! Bahkan gue nggak pernah diperlakukan seperti itu. Hah! Lu masih marah! Nggak gini caranya, Azmi!"

          Tembok pagar dengan sengaja Ghaffar tonjok untuk melepaskan kendalinya. Napasnya naik turun, wajahnya memerah padam. Untung saja ada pembatas, sehingga Azmi tak langsung terkena amukan Ghaffar.

          "Mau lu apa? Lu nggak bisa menentang kehendak tuhan Azmi, bunda lu udah tenang, beliau udah tenang. Apa lu mau mama dan ayah pisah? Itu yang lu mau? Atau lu mau gue pukul Khan sampai dia babak belur!?"

          Mata yang nyalang, Azmi ikut emosi. "Aku tak pernah meminta hal itu, dan aku sudah mengiklaskan bunda. Keh... hah...." Azmi meremat pagar pembatas. "Azmi tak pernah menyesali kehadiran mama, mbak, dan Mas." Buram, penglihatan Azmi memburam.

          "Azmi ...."

          Azmi mundur beberapa langkah, perutnya kembali terlilit. Panas, dadanya memanas.

          Uhuk....

          "Azmi."

          Belum sampai Ghaffar berbicara Azmi terburu-buru masuk kembali ke dalam gedung. Tangannya yang meremas perut dan beberapa kali memukul dada. Ghaffar menjadi khawatir.

          Namun kekhawatirannya memuncak ketika tak sengaja ia melihat tabung obat terjatuh tepat di depannya. Tabung obat yang tak pernah ia lihat Azmi meminum obatnya. Sebuah obat tidur.

G:re

          Darah tetap mengalir, mimisan yang sulit dihentikan, sangat kental. Ia basuh dan darah tetap saja keluar. Satu pesan ibunya untuk tetap menunduk, biarkan darah itu mengalir. Azmi sudah mulai merasa pening. Badannya melemas, tak ada tenaga lagi untuk meremas perut pesakitannya.

          Tisu toilet tak ia gunakan untuk menghilangkan jejak noda darah. Sekuat tenaga ia basuh kembali, tangannya bergetar. Azmi luruh, ia terduduk di atas keramik. Menikmati sensasi menyakitkan. Ia takut berdoa, di tempat yang kontor. Akan sangat berbahaya jika ia berharap seseorang menolongnya kembali.

          Obat.

          Azmi sadar obat tidurnya tak berada di kantong celana. Ia menjadi sedikit resah. Ia pegang pegangan yang berada di tembok. Keluar kamar mandi dan segera mungkin merebahkan tubuhnya. Ia tak peduli dengan darah yang malah menyumbat hidungnya.

          "Tidurlah Azmi," ucapnya lirih.

G:re

           "Itu yang lu maksud, Ghaf! Lu bentak adhek gue! Lu pikir gue nggak denger percakapan kalian!" Khan menendang dashboard mobil. "Hubungan gue sama dia sedang memburuk dan sekarang lu ngajak drama?! Lu mikir nggak apa yang lu berbuat itu salah! Arg! Sial!"

          Ghaffar mengalah, ia berusaha menjaga Khan agar tak merusak sekitar. "Sorry, gue kelepasan. Okey, gue ngaku salah. Gue nggak akan ikut campur masalah kalian lagi. Cukup, gue juga nggak ingin terlibat, tapi gue ada nyokap yang harus gue jaga. Lu juga harus ngerti posisi gue juga Khan. Bagaimana seorang anak melihat kasih sayang ibunya ia limpahkan untuk keluarga orang lain terbuang sia-sia.

          "Bahkan anak yang dididik sepenuh hati tiba-tiba menutup diri akan ayahnya yang jatuh sakit. Gue tau dia juga sakit, TAPI dia seorang anak. Tak bisakah ia menjaga orang tua, sudi merawatnya."

          "Ayah pasti mengerti akan sikap Azmi, beliau menyuruhku untuk beristirahat. Katanya aku sudah berusaha keras. Dan mamamu, maafkan sikap adikku, untukmu Ghaffar bisakah kita tetap diam saja."

           Tanpa menjawab Ghaffar membuka pintu mobil, berdiam duduk di kursi belakang. "Mari kita pulang," ucapnya lirih ditujukan ke arah Khan yang memegang setir kemudi.

           Malam semakin larut, mereka berdua nekat kembali pulang ke rumah. Disepanjang jalan banyak dari mereka sering menghela napas. Pengap udara malam dan sama-sama saling menahan emosi. Kekalutan sesaat, meresahkan apa yang sudah terlepas.

          Ghaffar bahkan lupa akan temuan tabung obat yang sudah tersimpan di dalam ransel kecilnya. Malam ini berdurasi sangat panjang dan penuh kejutan.


G:re


Buat kalian, double up. YEY.

 YEY

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Mengetik, 19 Januari 2021

Publikasi, 20 Januari 2021

GASTRITIS :reTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang