G:re Chapter 7 : Panas Alami

752 96 18
                                    


          "Okey, nanti gue ke sana, lu siapin aja keperluan yang harus gue bawa. Oh, iya, sekalian nanti tolong bilangin ke Abil buat ngasih tugas ke anak magang, kayaknya gue udah mulai percaya buat ngasih mereka tugas-tugas kantor.

          "Hm ... gue ke sana sama Ghaffar, mungkin sorean. Sekalian mampir ke tempat yang lain. Lagian sekarang hari jum'at, besok sabtu, libur juga. Gue mau nginep di rumah Blitar."

          Rutinitas pagi hari seorang Khan. Ia yang sudah bersiap-siap untuk turun ke lantai satu. Masih sibuk dengan berbincang melalui sambungan telepon. Rambutnya yang sudah tertata rapi, dan bau badannya yang menyegarkan orang-orang yang mencium aromanya.

          "Duapuluh menitan lagi gue sampai kantor, okey ...."

          Ketika Khan hendak pergi ke arah dapur. Ia mendengar perdebatan kecil di meja makan. Penasaran, ia langsung saja bergegas menuju sumber suara. Khan jelas melihat raut muka adiknya yang merah padam. Tak lupa juga dengan Hendra yang menatap Azmi intens.

          "Kamu sama Mas dan Kakakmu udah satu tempat. Jadi cukup gunakan satu kendaraan saja. Berikan pada Ayah STNK mobil dan motor, kuncinya juga. Biar kamu bisa akrab dengan saudaramu lagi. Mereka Kakak-Kakakmu, tak selayaknya kamu marah hingga berlarut seperti ini. Masalah itu udah lama, Azmi."

          Tanpa bantahan atau sekadar pembelaan diri Azmi langsung saja membuka ranselnya mencari dompet dan mengeluarkan barang yang diinginkan Hendra. Nyalang sorot mata Azmi membuat Hana yang berada di samping Hendra tersentak.

          "Mas, tidak seharusnya seperti ini. Bukankah ini sudah menjadi hak Azmi?" Hana menengahi.

          "Ma, Ghaffar setuju saja akan keputusan Ayah. Ghaffar juga berpikir demikian." 

          Ghaffar berusaha membela Hendra. Ia juga memiliki pikiran yang sama. Masalah ini harus cepat terselesaikan. Karna mereka yang sudah menjadi sebuah keluarga dan sudah cukup lama tinggal bersama. 

          "Mas nggak keberatan kalau harus berangkat sama kamu, Fa. Biar kamu nggak keseringan pulang malam lagi."

          Khan diam. Ia pandangi wajah Azmi. Sendu mata yang sudah menjawab akan perasaan Azmi saat ini. Hingga anak itu mulai melangkahkan kaki mundur dari hadapan keluarganya. Melewati tubuh Khan tanpa mau sedikit menengok.

          "Apa yang Ayah lakukan?" tanya Khan dengan suara yang sedikit bergetar.

          "Lu nggak usah bela dia, sudah sewajarnya Ayah berbicara seperti itu. Lagi pula itu juga demi kebaikannya," ucap Ghaffar.

          "Kebaikan apa yang lu maksud? Yang ada dia malah ngejauh, cukup, jangan sakiti perasaannya lagi. Cukup Khan saja, cukup gue yang pernah bikin dia hancur."

          "Ini bukan salah kamu, Khan! Sudah Ayah tegaskan berulang kali, jangan salahkan dirimu!" Hendra berteriak emosi, sampai-sampai ia tanpa sadar menggebrak meja dengan keras.

          Hana satu-satunya wanita yang berada di ruangan itu ditarik mundur oleh Ghaffar. Satu persatu dari mereka mulai meninggalkan dapur. Meninggalkan Khan di ruangan itu sendiri. Untuk saat ini ia tiba-tiba saja merindukan sesosok Nana. Seorang ibu, yang selalu menjadi titik terlemah serta terkuatnya.

          Bunda, masih adakah kedamaian batin.

<G:re>

          Sudah lebih dari seminggu. Mulanya mereka yang memiliki rasa canggung kini secara tiba-tiba dapat akrab sendirinya. Rais bersenda gurau dengan Zain dan Rifqi di atap gedung. Ali dan Bima bercengkrama di pos satpam dengan pak Agus. Di dalam gedung hanya tersisa Azmi dan Hanan yang sibuk dengan urusan masing-masing.

GASTRITIS :reTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang