G:re Chapter 12 : Ayah

690 102 32
                                    


          Langkah kaki seseorang yang berjalan begitu cepat memasuki rumah. Ia bergegas menuju kamar yang menjadi favorit sang bungsu. Nihil. Anaknya tak ada di kamar. Hendra tersenyum kecewa karna untuk pertama kalinya ia tak tau di mana Azmi berada.

          Hendra sangat yakin betul kepergian Azmi tak akan jauh dari rumah Nana, sang bunda. Tabiat Azmi yang dari kecil sangat Hendra pahami. Namun, malam itu ketika melihat Azmi pulang dengan keadaan dimana Hendra sangat tidak suka akan hal itu. Amarahnya memuncak, ia tak bisa mengendalikan emosi. Bahkan dengan teganya ia menampar wajah serta memberi luka pada hati Azmi.

          "Mas Hendra?"

          Akbar yang memandang aneh terhadap Hendra yang tak biasanya datang sepagi ini ke rumah kakak tersayangnya. Melihat gelagat Hendra yang kebingungan akhirnya membawa langkah Akbar untuk mendekat.

          "Mas datang ke sini sendiri? Ada apa, Mas?"

          Hendra menatap Akbar datar. Sedikit menelan ludah karna mulutnya yang kering.

          "Aku salah, Bar. Aku berbuat dosa ... untuk kesekian kalinya. Tak seharusnya aku emosi seperti itu, tak seharusnya tangan ini melukainya, dan tak seharusnya mulut ini berucap kata yang menyakiti perasaannya. Bagaimana bisa aku dianggap sebagai sesosok Ayah?"

          Badan penopang keluarga itu luruh bersandar ke dinding kamar. Hendra tiba-tiba saja tak berdaya. Menggali dosa yang sama, menumpuknya hingga semakin berat terasa. Semenjak kejadian itu, ia selalu terpikirkan akan rasa kehilangan. Sangat sakit.

          "Perpisahan hal terberat bagiku, Bar. Aku pernah mengusir seseorang yang paling aku cintai dan kini aku kehilangan kembali sosok yang sangat mirip sepertinya."

          Akbar berusaha menjadi penyimak yang baik. Tak sedikitpun keinginan untuk menyela keluh kesah kakak tirinya. Ia paham akan masalah keluarga ini. Ingatannya kembali ketika Azmi menjadi seseorang yang sangat berbeda.

          Keponakan yang hanya mau berbicara padanya saja kala itu. Sekali mendengarkan orang lain dengan mudahnya ia menyudahi percakapan. Emosi. Sebuah emosi yang selalu saja mengendalikan laju logika seseorang.

           "Bisakah kita bicara di depan saja, Mas? Agar Mas bisa lebih leluasa bercerita."

          Akbar berusaha tenang. Sebisa mungkin ia netral dalam segala apa yang terjadi. Ia tak harus menyalahkan Hendra maupun membela Azmi. Ia hanya menjadi seorang penengah.

          Awan mulai bergerak berirama. Membuat bentuk yang indah dipandang mata. Perpaduan sinar dan warna menarik perhatian orang yang baru saja lewat di depan rumah. Orang tersebut diam memotret alam dengan ponselnya. Senyum tipisnya mengingatkan Akbar akan Khan. Orang yang paling sabar yang pernah Akbar temui.

G:re

          Denting suara sendok mengalihkan fokus Hana. Ia yang sedang riang hati memasak melihat sekilas ke belakang di mana seseorang sedang duduk manis sedang menata sendok di meja makan. Ucapannya bebera saat yang lalu berhasil membuatnya terharu. Entahlah, hanya kalimat seperti itu ia bisa merasa tenang.

          "Ma, bisa buatkan Aufa bubur?"

          Hana kembali tersenyum kala mengingat kalimat Azmi, tak butuh waktu lama untuknya membuat bubur. Kebiasaannya yang pernah merawat ibu kandung Azmi tak menjadi masalah untuknya membuat jenis makanan apa saja yang bisa dikonsumsi oleh Azmi.

          "Ini kamu makan dulu, Mama panggil Khan dulu biar ikut makan bareng."

          Azmi tanpa berkata langsung memegang pergelangan tangan Hana. Ia juga mulai merapatkan ponsel ke telinga. "Kak, turun. Sekarang," ucap Azmi datar. "Udah, Mama di sini aja. Temenin Aufa makan." Lanjutnya.

GASTRITIS :reTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang