"Dimana Zayn?"
"Sedang dalam perjalanan."
Aku mengangguk mengerti, setelahnya aku masuk ke dalam ruangan persalinan, lengkap dengan penutup kepala, masker, dan jubah seperti dokter. Sebelum masuk, aku sudah merapalkan doa agar semua berjalan dengan lancar.
Di sana Aleena sudah terbaring dengan salah satu suster yang mengajaknya berbicara, senyum Aleena terlihat jelas meski sebenarnya perasaannya sedang tidak karuan ditambah rasa sakit karena bukaan pada dirinya sudah terbuka sempurna.
Tadi pagi saat aku membuat sarapan, Aleena berteriak di dalam kamar memanggil namaku, saat aku melihatnya ia sudah terduduk di sofa kamarku dengan keringat yang membanjiri wajahnya.
"A—Aleena, ka—kenapa?"
"Sepertinya ketubanku pecah, Uncle."
"Hah? Pecah?" Aku melempar spatulaku, berjongkok memeriksa wajahnya, kemudian tanganku beralih pada perutnya, aku berdiri kemudian mengusap rambutku kasar.
"Jangan panik, please?" Aleena menatapku, "tolong ambil tas ransel di kamar sebelah, aku sudah menaruh perlengkapanku dan sikecil, lalu uncle tolong gunakan pakaian dan celana."
Susai dengan arahan Aleena, aku mengambil ransel hitam yang sudah disiapkan, kemudian mengganti pakaianku dan celanaku dan yang terakhir aku menggendong tubuh Aleena.
Aku belum bisa bernapas lega saat aku dan Aleena sudah di dalam mobil, Aleena masih meringis membuatku sedikit kencang melajukan mobilku, masih ada rasa bersyukur saat tahu kondisi jalan raya tidak padat dan matahari belum menunjukan cahayanya. Aku menekan loudspeakers ponselku, menunggu dokter spog yang menangani Aleena mengangkat panggilku.
"Selamat pagi, Tuan Styles."
"Halo, pagi. Dokter, kami dalam perjalanan menuju rumah sakit, istriku merasakan ketubannya pecah."
Selepas mendengar balasan beliau yang mengatakan akan menyiapkan segalanya aku mematikan panggilan, menoleh melihat Aleena yang masih memejamkan matanya bersamaan dengan elusan pada perutnya.
Aku tersenyum, meski dalam kondisi gawat begini aku harus bisa menenangkan diriku dan Aleena, aku menaruh telapak tanganku pada perut buncit Aleena, mengusapnya pelan. "Sabar, ya, Sayang. Sebentar lagi, sebentar lagi."
Setelahnya aku melarikan tanganku pada pipi Aleena yang berkeringat, mengusapnya pelan sambil mengatakan bahwa aku akan menemaninya sampai anak kami lahir nanti.
Kami sudah sampai di rumah sakit, dua perawat membawa Aleena menuju kamarnya, sementara aku harus mengisi formulir dan menghubungi keluargaku.
Setelahnya salah satu perawat menghampiriku dan mengantarku menuju ruangan di mana Aleena sedang berada. Aku menemani Aleena, dokter masih mengatakan bahwa kami harus menunggu lagi, dikarenakan bukaan pada Aleena belum sempurna, Aleena tidak banyak berbicara, sesekali ia meremas tanganku, bahkan tidak jarang tangannya meremas bahuku dan aku hanya bisa mengusap kepalanya, menguatkan bahwa ia bisa melewati ini semua.
"Hei, baby, sebentar lagi kita bertiga."
Aku memulai percakapan setelah Aleena menyenderkan kepalanya pada bahuku. Aleena terkekeh kecil meski aku tahu itu seperti terpaksa karena aku mendengar ringisannya.
"Bertiga saja?" tanyanya.
Aku mengangguk kecil, menepuk pelan punggungnya. "Mau berapa kalau begitu?"
"Lima, ya, atau enam."
Hah, apa katanya? Lima? Atau Enam?
Jujur saja aku speechless mendengar ucapannya, tidak tahu harus merespon bagaimana, belum lahir saja ia sudah ingin berenam atau berlima. Padahal aku tahu ia menahan rasa sakitnya dan aku tidak tega melihat kondisinya seperti ini.