Tadi, Raja sempat mendengar suara langkah samar-samar memasuki kamarnya saat ia sedang mandi. Ia tahu itu pasti Gara yang baru tiba di rumah sejak panggilan mereka berakhir tadi. Untuk itu ia menyelesaikan mandinya dengan cepat kemudian keluar dengan rambut setengah basah juga sisa-sisa air yang bahkan masih menetes dari dahi.
Ternyata benar. Ada Gara yang menunggunya di ranjang. Pakaian anak itu berantakan, tatapannya tidak lagi setenang malam saat ia mendongak dan menyambut Raja yang baru datang. Lalu saat Raja menelisik lebih jauh, ada jejak-jejak basah di matanya yang tak lagi berpendar.
Seketika ganjil yang sempat ia rasakan saat Gara menutup panggilan tadi kembali menguar dan mengundang tanda tanya besar. Diamnya Gara seolah membenarkan bahwa memang ada kata yang tidak mampu anak itu suarakan.
"Mau cerita apa? Gue tau lo nggak akan tiba-tiba nyamperin ke kamar kalau nggak ada sesuatu." Raja berjalan mendekat setelah sebelumnya menghela napas panjang. Sembari mengusap-usap rambutnya dengan handuk, ia duduk di samping Gara yang sekarang berbaring telentang.
"Gue bukan cowok rumpi yang dateng buat curhat doang. Gue ke sini mau numpang rebahan."
Raja tahu alasan Gara tidak sepenuhnya benar. Sebab, meski anak itu menyangkal, fakta bahwa Gara hanya akan datang ke kamarnya untuk mencari pelarian adalah kenyataan. Namun, Raja memilih diam, tidak ingin memaksakan. Mungkin, anak itu memang hanya sedang butuh seseorang agar tidak sendirian, bukan ingin didengar. Karena tidak semua keluh dapat diungkapkan dan tidak semua luka dapat disuarakan.
"Kabarin Mama dulu sana. Bilang, lo udah di rumah. Lo udah bikin Mama nggak tenang seharian." Untuk itu Raja mengganti topik mereka saat Gara tampak sudah mulai nyaman di ranjang.
"Nggak perlu. Nanti juga dia pasti nelepon duluan."
Ketika Mama menghubunginya, wanita itu hanya mengatakan tentang Gara yang pergi membolos bersama Laksa lalu kabur saat Mama menjemputnya. Sisanya, Raja tidak tahu apa-apa. Namun, dari bagaimana Gara seperti menghindari topik ini, atau bagaimana anak itu memalingkan muka saat nama Mama dibawa, Raja bisa menyimpulkan bahwa telah terjadi sesuatu di antara mereka.
Untuk itu ia memutar duduknya tepat menghadap Gara, berusaha membuka lagi topik yang sudah coba anak itu patahkan sebelumnya. Sebagai orang yang selama ini paling mengenal Gara, ia berhak tahu alasan anak itu akhirnya berani menentang Mama.
"Kenapa tadi lo bolos? Gue tau lo bukan tipe orang yang suka kalau nama lo jadi bahan omongan. Lo juga bukan anak yang bakal ngambil resiko buat nentang Mama. Si Laksa Laksa itu yang ngajak lo bolos?"
Karena jika iya, Raja bersumpah tidak akan membiarkan anak itu lolos begitu saja. Namun, ternyata jawaban Gara tidak memberinya kepastian apa-apa.
"Gue cuma mau pakai hak gue sebagai manusia, buat lakuin apa yang mau gue lakuin. Kenapa, sih, kalian gampang banget nyalahin orang lain?"
"Nggak gini juga caranya, anak pinter. Nggak dengan cara ngotorin nama lo sendiri dan bikin semua orang panik. Sumpah, kalau bukan adek, udah gue tenggelemin lo."
"Udahlah, diem aja. Nggak usah bahas masalah itu, capek gue. Nggak tau apa barusan gue hampir mati di jalan! Bagus gue masih bisa nyampe rumah tanpa ada organ yang ilang."
Duduk Raja seketika menegang. Fokus cowok itu sepenuhnya tertuju pada Gara yang kini memejam. Kata mati yang anak itu sebutkan ternyata berefek cukup besar untuk membuat detak jantung Raja berantakan.
"Nggak usah bercanda lo, bocah! Jangan bawa-bawa kata mati sembarangan!"
"Emang bener. Tadi gue balik naik taksi 'kan, nah pas lagi jalan itu ban belakang taksi tiba-tiba aja pecah. Hampir aja kita nabrak mobil pertamina di depan, tapi syukurnya si Pak Sopirnya nggak panik, jadi bisa pinggirin taksinya sebelum nyentuh bagian belakang kendaraan lain."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Senja Tenggelam
Fiksi RemajaHari itu, ketika mentari membakar senja di singgasana. Meluruhkan jejak basah gerimis di sepanjang ranting yang kehilangan kokohnya. Dan ketika angin menjerit kepada lampu-lampu yang berpendar di sepanjang jalan kota.... Lembar pertama kisah kita te...