19 | Hari Tanpa Hadirnya

4.2K 822 671
                                    

Raja pernah memiliki dunia di mana ia dapat menumpahkan segalanya. Menjadi si brengsek yang sanggup menghabiskan beberapa batang rokok dalam sekali duduk sembari merekam teman-temannya tertawa. Atau menenggak habis satu botol alkohol tanpa pertimbangan apa-apa. Namun, dunia itu pernah ia tinggalkan karena Gara. Sekarang, saat anak itu tiada, segala umpat dan keluh yang tak mampu ia ungkap berakhir membawa cowok itu kembali ke sana.

Hujan di luar sedang deras-derasnya ketika Raja membakar batang rokok keduanya sore ini. Membiarkan asap tebal merebak di udara dan bau tembakau melebur bersama petrichor yang merangkak masuk melalui celah jendela kafe yang terbuka.

Raja kira, pelariannya ke tempat ini dapat membuatnya melupakan semua. Tentang kepergian Gara yang masih menyisakan lara, tentang Papa yang ternyata tidak pernah sesempurna perkiraannya, juga tentang Laksa yang sekarang menjadi bagian dari Maheswara. Namun, sia-sia. Retakan panjang di hatinya tidak pernah mampu ia tutup dengan tawa dan kekosongan besar yang Gara tinggalkan juga tidak pernah menyentuh kata baik-baik saja.

Hujan di luar justru seperti membangkitkan seluruh ingatan Raja tentang Gara. Mendatangkan rindu yang tidak akan pernah ia temui ujungnya. Hujan seperti membawa Raja melihat sosok Gara di luar jendela. Sedang berdiri di seberang jalan, menatap sebal pada orang-orang berlari dengan tergesa.

"Bagi rokok, Ja." Suara Gaza yang terdengar di antara riuh hujan seketika membuyarkan pikiran Raja. Cowok itu beralih sebentar untuk melempar bungkusan rokoknya pada Gaza dan ketika ia menatap lagi ke luar jendela, sosok Gara yang tadi seperti berada di sana pun hilang begitu saja.

Seberang jalan itu kosong. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada orang yang berlarian dengan tergesa. Tidak ada Gara.

Diam-diam cowok itu mengumpat dalam hati, kemudian menyesap lagi manis tembakau yang lima menit lalu ia bakar. Berusaha mengisi kekosongan di dadanya yang rumpang. Sejauh yang ia tahu, asap tembakau akan selalu menjadi hal menyenangkan dan rasa manis nikotin akan terasa menenangkan. Namun, satu minggu ini, puluhan batang yang ia bakar tidak lagi memberikan efek yang Raja inginkan. Sialan.

"Gimana terusan sekarang? Dia masih di rumah lo?"

Ketika yang lain sibuk tertawa, Gaza justru duduk di sisi Raja setelah membakar rokoknya hingga menyala. Pikiran Raja yang semula menggaungkan nama Gara, kini mulai terisi oleh Laksa. Tiba-tiba saja wajah anak itu muncul di antara tetes-tetes hujan yang turun melewati kaca jendela.

"Hm," jawab Raja singkat. Membawa nama Laksa ke dalam obrolan adalah hal yang paling tidak ia suka. Karena di detik itu ia juga seperti diingatkan tentang perselingkuhan Papa.

"Lo ... kelihatannya nggak suka gue bahas soal dia."

Iya, memang seperti itu kenyataannya. Sejak awal, ia tidak pernah suka kehadiran Laksa di sekitar Gara. Dan tidak akan pernah ada alasan untuk ia menyukainya, baik sebagai orang asing, teman, maupun saudara.

"Gue sebenernya kasihan sama Mama. Dia udah cukup sakit hati dengan tau kalau selama ini cinta bokap gue nggak cuma buat dia aja. Dan sekarang dia harus nampung anak dari hasil perselingkuhan Papa di rumahnya. Walaupun dia bilang, dia lakuin ini karena mau bikin anak itu ngerasa tersiksa di sana, tapi gue yakin banget dia juga sakit harus lihat anak itu tiap hari."

"Lo sendiri gimana?"

Di detik itu Raja membuang asap pembakarannya ke udara, membiarkannya membubung sebelum akhirnya hancur. Ada jeda yang ia biarkan merambat di sana sampai Gaza kembali membuka suara.

"Setelah tau kalau dia juga adek lo. Sorry, maksud gue, setelah lo tau kalau dialah adek lo yang sebenernya, bukan Gara. Lo mau gimana? Apalagi sekarang dia nggak punya siapa-siapa. Nyokapnya juga nggak tau ada di mana. Secara teknis, emang cuma lo, sih, tujuannya sekarang."

Sebelum Senja Tenggelam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang