Menyesuaikan diri dengan kehilangan bukanlah perkara gampang. Butuh dua malam panjang sampai akhirnya hari ini Raja kembali ke hadapan semua orang. Berusaha menapak setegak tiang dan bersikap setenang laut tanpa pasang.
Dari sudut kantin yang siang ini ramai, Laksa duduk memperhatikan. Mengamati bagaimana Raja diam dan menolak semua orang yang datang untuk sekadar menyapa atau duduk menemaninya makan. Lelaki itu tampak tidak nyaman. Berkali-kali ia menghela napas panjang dan memejam. Gurat merah di wajahnya yang berkeringat juga bagaimana lelaki itu mengepalkan tangan sudah cukup menunjukkan betapa ia sangat kesulitan.
Laksa paham. Hal tersulit setelah seseorang menerima kehilangan adalah bagaimana caranya menghadapi semua orang yang datang hanya untuk menyuruhnya untuk merelakan. Maka dari itu setengah mati ia menahan diri untuk tetap diam, menekan dalam-dalam keinginannya untuk mendekat ke hadapan Raja lalu menghiburnya. Mengatakan hal-hal konyol atau bahkan mempermalukan dirinya sendiri hanya agar lelaki itu tertawa, seperti biasa. Apa saja, asal setelah itu ia bisa melihat Raja mendapatkan kembali tenangnya.
Namun, di saat yang sama kenyataan menampar Laksa. Menyadarkan ia bahwa semua ini juga bermula darinya. Seharusnya ia tahu bahwa mungkin Raja sendiri sekarang tidak sudi melihatnya.
"Eh, Ja. Sorry, ya, kemarin gue nggak bisa dateng ke pemakamannya Gara. Tapi gue turut berduka. Lo yang tabah, ya."
Dari sini, Laksa bisa melihat seorang gadis dengan jepit rambut bunga berhenti di sisi Raja dan membisikkan kalimatnya. Tidak cukup pelan sampai Laksa yang sejak awal duduk berjarak dua meja dari tempat Raja berada ikut mendengar semua. Lagi-lagi kalimat yang sama. Laksa tahu Raja sudah muak mendengarnya. Terbukti dari bagaimana mata lelaki itu berusaha menghindar saat murid perempuan tadi justru sengaja menyebut nama Gara berulang.
Gara pasti sudah tenang. Gara pasti tinggal di tempat yang lebih damai. Gara pasti bahagia. Tanpa sadar kedua tangan Laksa mengepal. Sialan. Apa orang-orang di sini tidak bisa diam? Apa mereka tidak bisa memahami orang yang baru saja kehilangan?
"Turut berduka, ya, Ja. Udah, nggak usah diinget-inget terus. Adek lo udah tenang. Kalau lo-nya belum ikhlas, malah bakal ngeberatin dia di sana."
Kali ini seorang siswa dari kelas lain yang menghampiri Raja dan menepuk pundaknya. Anak itu tersenyum seolah ia baru saja melakukan hal yang benar, tanpa tahu bahwa tindakannya justru membuat Raja semakin kesulitan. Laksa bisa melihat bagaimana lelaki itu menepis tangan yang menyentuhnya kemudian mengisyaratkan bahwa ia ingin sendirian.
Akan tetapi, baru satu menit sejak murid laki-laki itu pergi, langkah lain kembali berhenti di samping Raja. Kali ini tidak hanya satu, tetapi dua. Duduk Laksa ikut menegang saat ia melihat dua anak yang ia ketahui merupakan teman satu kelas Gara itu menarik kursi di sebelah Raja dan bicara dengan nada bercanda.
"Rest in peace, ya, buat adek lo. Gue turut berduka. Agak nggak percaya juga sebenernya kalau si Gara pergi secepet ini. Tapi anak sombong dan angkuh kayak dia emang nggak pantes hidup lebih lama, sih." Kalimat itu diakhiri dengan tawa dan satu detik setelahnya suara gebrakan meja menggema, mengalihkan fokus semua orang di sana.
Laksa bisa melihat Raja bangkit dan meraih kerah seragam anak laki-laki yang tadi berujar. Tatapannya murka. Ada api yang membakar Raja lebih dari sebelumnya. Cara lelaki itu menatap sekitar dan menekan suaranya membuat Laksa ingin berlari untuk kemudian menariknya pergi, tetapi masih ada yang menahan langkahnya. Untuk itu ia diam dan di detik itu suara Raja terdengar.
"Manusia nggak ada otak kayak lo juga nggak layak hidup lebih lama. Gue udah bilang kemarin kalau gue bisa habisin lo kapan aja. Dan lo harus tau kalau gue nggak pernah main-main sama omongan gue, Jerryko Garendra. Sekali lagi mulut sampah lo itu berani nyebut nama Gara, gue pastiin lo bakal jadi orang pertama yang berhasil ngirim gue ke penjara."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Senja Tenggelam
Novela JuvenilHari itu, ketika mentari membakar senja di singgasana. Meluruhkan jejak basah gerimis di sepanjang ranting yang kehilangan kokohnya. Dan ketika angin menjerit kepada lampu-lampu yang berpendar di sepanjang jalan kota.... Lembar pertama kisah kita te...