Sejauh Laksa mengenal sosok Ayah, ia hampir tidak pernah mendengar lelaki itu membentak atau berteriak. Ia hanya tahu bagaimana laki-laki itu bicara setenang embus angin di bibir pantai menjelang matahari terbenam. Atau bagaimana lelaki itu tersenyum sehangat langit siang.
Namun, sore ini, ada yang berbeda dalam getar suara Ayah. Ada api yang menyala-nyala di tiap penggal kalimatnya. Ada luka tak kasatmata yang ternyata tidak hanya menyakitinya saja, tetapi juga semua yang ada di sana. Kalimat Ayah seperti tombak besi yang menembus dinding-dinding jantung mereka, lalu menyakiti dengan kenyataan yang selama ini menjadi rahasia.
"Saya pertama kali mengenal Hanum, itu saat kami SMP. Kami berteman baik, seperti anak sekolah pada umumnya. Hanum itu perempuan yang cerdas, tapi polosnya luar biasa. Dia tidak pernah jatuh cinta. Saat saya tanya tipe lelaki seperti apa yang menarik perhatiannya, dia hanya bilang, 'aku tidak tau, karena aku belum pernah merasa tertarik terhadap seseorang'. Tetapi suatu hari, di usia 25 tahun, dia datang kepada saya, dan untuk pertama kali dia mengatakan bahwa dia tertarik kepada seseorang. Katanya, ada laki-laki baik yang begitu tulus mencintainya. Namanya Maheswara."
Dulu, nama itu selalu berefek luar biasa untuk Laksa. Membawa hangat juga tenang di waktu yang sama. Namun, hari ini, ketika nama itu kembali disebut di hadapan semua orang dengan mata Ayah yang berkaca-kaca, justru linu yang terasa. Maheswara yang selama ini selalu dipuja, sekarang rasanya begitu menyiksa.
Sejenak Laksa mengangkat pandangan, hanya untuk melihat bagaimana Ibu Kirana meneteskan air mata tanpa suara. Kemudian pandangannya berhenti pada sosok Raja, dan di detik itu juga pelarian Laksa menemukan ujungnya. Ia membiarkan mata lelaki itu menatapnya, seolah menyuarakan seluruh amarahnya yang membara.
"Bertahun-tahun, mereka menjalin hubungan. Hanum terlihat begitu bahagia. Setiap kami bertemu, dia selalu cerita tentang bagaimana laki-laki bernama Maheswara itu memperlakukannya dengan begitu istimewa. Tidak ada satu pun hal buruk yang Hanum katakan tentangnya. Dia selalu bilang, Maheswara itu laki-laki sempurna. Dia baik, sopan, dan paham sekali cara menghargai wanita. Dia lahir di kalangan keluarga berada dan punya profesi yang bagus untuk masa depan mereka. Hanum, saat itu sudah sangat jatuh cinta pada sosok Maheswara. Dan mungkin begitu juga sebaliknya."
Jeda dalam kalimat Ayah selalu Laksa gunakan untuk menghela napas panjang untuk dua alasan. Pertama, agar ia tetap bisa duduk tenang di tempat ini meski keringat dingin sudah membasahi telapak tangannya yang gemetar. Kedua, untuk mempersiapkan diri atas apa pun yang akan terjadi nanti setelah cerita Ayah selesai. Karena bahkan lelaki itu belum menceritakan separuh jalan, tetapi Laksa sudah bisa merasakan kehancuran di rumah ini sedemikian besar.
"Kenapa Anda kelihatan yakin sekali kalau suami saya juga mencintai wanita murahan itu?" Kali ini suara Ibu Kirana merayap di sela-sela cerita Ayah. Laksa bisa mendengar bagaimana kalimat wanita itu mengalun setegas guntur dan memelan selirih angin setelahnya. Tetapi tatapan wanita itu masih angkuh, meski air mata menggores damai di pipinya yang kehilangan rona.
"Maaf Bu Kirana, tapi apakah dulu Anda pernah tahu, ke mana perginya suami Anda setiap akhir pekan? Apa Anda pernah bertanya, kenapa setiap akhir pekan, beliau tidak pulang dan menemani Anda di rumah?"
Kali ini pertanyaan Ayah berhasil membuat wanita itu bungkam. Tangannya mengepal, tetapi kalimat Ayah belum usai. Untuk itu ia kembali melanjutkan.
"Akhir pekan, adalah waktu yang selalu Hanum ceritakan sebagai waktu di mana ia menghabiskan sepanjang hari bersama Bapak Maheswara. Itulah yang sebenarnya terjadi, Bu Kirana."
"Omong kosong." Wanita itu masih berusaha menyangkal, meski matanya sudah basah dan dari sini Laksa bisa melihat retakan panjang yang menyakitkan.
"Maaf, Bu. Saya tahu kenyataan ini memang menyakiti Ibu dan putra Ibu, tapi ... saya rasa memang sudah seharusnya kalian tahu. Mereka sudah sejak lama saling jatuh cinta dan menjalin hubungan di belakang kalian. Semakin lama, perasaan mereka juga semakin kuat. Semakin dalam. Sampai suatu hari, setelah hampir dua tahun Hanum berhenti menemui saya, tiba-tiba dia datang lagi ke hadapan saya sembari menangis. Hari itu, tanpa alas kaki dia memasuki pekarangan rumah saya, sambil menggendong seorang bayi laki-laki yang masih merah. Katanya, anak itu adalah buah cinta darinya dan Bapak Maheswara. Kemudin saya bertanya; 'jika begitu lantas mengapa kamu menangis?', dan ia pun memberi pengakuan yang cukup mengejutkan saya. Bahwa anak yang dilahirkannya, bukanlah anak dari hasil hubungan sah. Ia juga mengatakan bahwa ternyata ia telah jatuh cinta kepada laki-laki yang salah. Dia menyerahkan hatinya kepada laki-laki yang telah beristri dan bahkan telah mempunyai satu putra."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Senja Tenggelam
Teen FictionHari itu, ketika mentari membakar senja di singgasana. Meluruhkan jejak basah gerimis di sepanjang ranting yang kehilangan kokohnya. Dan ketika angin menjerit kepada lampu-lampu yang berpendar di sepanjang jalan kota.... Lembar pertama kisah kita te...