"Gi, lempar sana!" suruh Nasya dengan menendang kakinya.
Dengan sangat terpaksa Gia bangkit mengambil bola tersebut dan melemparnya ke arah Naka. Namun sialnya bola itu malah menggelinding ke arah lain. Gia memang buruk di bidang olahraga. Menyebalkan!
"Yang bener dong!" sungut Naka.
Kan dia yang minta tolong kenapa jadi dia yang marah-marah. Lagipula bukannya dia tau kalau Gia tidak pintar dalam lempar melempar, harusnya jangan menyuruh Gia dong.
Dengan berat hati Gia kembali mengambil bola yang menggelinding tadi dan kali ini mengembalikannya langsung dengan mendatangi Naka. Dia tidak mau salah lempar lagi.
"Nih! Maaf tadi nggak sengaja," ucapnya dengan tangan menyodorkan bola dan jangan lupa dengan wajah yang ditekuk. Naka tidak langsung menerima bola itu. Dia malah memandang sinis Gia dengan mengeluarkan seringai andalannya. Gia benci seringai itu!
"Lo sengaja kan? Mau caper sama gue?" ucapnya dengan seringai yang tidak lepas dari bibirnya. Satu lagi yang Gia benci dari Naka, terlalu percaya diri.
"Ka, buruan bolanya. Jadi latihan nggak nih?" teriak salah satu teman Naka.
Karena Naka tak kunjung menerima bola ditangannya, Gia dengan kesal melempar asal bola tersebut dan segera kembali ke tempat duduknya.
Bodo amat, Gia nggak peduli!
*****
"Duluan ya Sya, Mami udah di depan soalnya." Gia dengan segera menenteng ransel kuningnya dan bersiap untuk pulang.
"Eh, tungguin dong Gi! bentar lagi selesai." Nasya sedang menyalin rangkuman milik Gia karena tadi dia sedang malas mencatat. Kebiasaannya dari dulu memang tidak pernah berubah. Dengan malas Gia kembali duduk di bangkunya. Dia kini sedang menunggu Nasya di sampingnya yang begitu lambat mencatat.
Kalau kalian pikir Gia itu murid yang pintar, kalian salah besar. Gia itu bukan murid pintar di sekolahnya, malah cenderung bodoh. Tapi Gia itu murid yang rajin. Dia selalu mendengarkan penjelasan guru di depan dan tidak pernah lupa mencatat. Tapi ya mungkin memang otaknya seperti ini, jadi sekeras apa pun dia belajar nilainya akan segitu-segitu saja. Terkadang dia iri dengan Naka, laki-laki itu nggak pernah belajar dan selalu main di luar tapi nilainya selalu bagus bahkan selalu jadi juara kelas. Itu yang membuat Maminya selalu membanding-bandingkan dia dengan Naka. Tapi kan bukan salah Gia kalau otaknya seperti ini!
"Beres! Yuk Gi pulang," ucap Nasya menyadarkan Gia dari acara melamunnya.
Sore ini sekolah terlihat ramai. Oh, ini kan jadwalnya ekstrakurikuler di sekolah—pantas saja seramai ini. Ngomong-ngomong tentang esktrakurikuler, Gia masih belum menentukan pilihannya. Dia bingung mau mengambil apa.
"Sya, kamu jadi ambil ekskul apa?" tanya Gia bingung.
"Kayaknya basket lagi deh, biar samaan kayak Bastian. Kan enak tuh bisa satu ekskul bareng pacar," jawab Nasya sambil tertawa kencang. Nasya ini memang anaknya sedikit sporty dan tinggi badannya juga mendukung untuk basket. Berbeda dengan Nasya, tinggi Gia benar-baner tidak cocok untuk ikut basket. Bisa ditertawakan satu sekolah kalau dia sampai berani daftar basket.
*****
"Hai sayang, gimana hari ini?" sapa Desi ketika Gia memasuki mobil.
"Gitu-gitu aja." Gia memang sedang malas bicara, entahlah seharian ini dia memang sedang tidak mood. Apa iya dia sedang kedatangan tamu bulanan?
"Eh, ini mau kemana Mi? Ini kan bukan arah ke rumah kita?" tanya Gia dengan bingung. Kalau tidak salah, bukankah ini jalan menuju rumah Naka?
"Kita ke rumah Tante Ratna dulu ya sayang." Mendengar hal itu Gia jadi ingat tentang rencana perjodohan yang dibuat Maminya.
"Mi, tentang perjodohannya udah beneran Mami batalin kan? Gia nggak mau dijodohin sama Naka," tuntutnya dengan mata yang tak lepas dari Desi.
"Ehm— gini Gia sayang. Ini kan Tante Ratna baru pulang dari rumah sakit, kayaknya bukan waktu yang tepat buat Mami ngomongin ini. Nanti yang ada Tante Ratna drop lagi." Jawaban Desi membuat Gia menjadi bingung. Dia tidak tau kalau Mamanya Naka sakit.
"Memangnya Tante Ratna sakit apa? Ini bukan akal-akalan Mami kan?" Tidak salah kan kalau Gia curiga pada Maminya. Siapa tau ini cuma salah satu rencana Maminya yang dia nggak tau.
Mobil pun berhenti tepat di depan pagar rumah Naka. Naka memang berasal dari keluarga kaya, tidak heran pagar rumahnya sebesar ini—apalagi rumahnya. Dulu saja Gia sampai ternganga saat pertama kali masuk rumah Naka. Kalau diingat-ingat dia jadi malu sendiri. Kenapa dulu dia norak sekali.
"Udah ayo masuk. Kita kesini itu mau jengukin Tante Ratna. Kamu jangan mikir yang aneh-aneh gitu dong tentang Mami."
Desi pun masuk bersama Gia di belakangnya. Pekerja di rumah Naka memang sudah mengenal Gia dan Maminya. Baik satpamnya, pembantu, bahkan tukang kebun. Tentu saja itu karena dulu Gia sempat dekat dengan Naka. Bahkan dulu dia juga sering sekali menginap di rumah itu. Itupun dulu sekali sebelum Naka membencinya. Setelah tragedi sungai itu terjadi, Naka sama sekali tidak mau bertemu dengan Gia. Bahkan setiap kali Gia ingin menemui Naka di rumahnya, Naka pasti akan mengunci dirinya di dalam kamar dan tidak akan keluar seharian.
-tbc-
Hai! ketemu lagi kita hehe.
Hari Kamis kita lanjut ke bab 3 yaa! Tungguin bab ini ya gaes karena di bab ini nanti part Gia-Naka bakalan lebih banyakkk. Staytune! Jangan lupa buat vote dan komen.
Thankyou!
with love, nana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Do You Love Me?
Teen FictionGia suka Naka. Tapi itu dulu, sebelum Naka menyakitinya sampai seperti ini. Kalian harus tau Naka itu selalu ketus, irit bicara, dan omongannya juga selalu pedas. Dia tidak pernah memikirkan perasaan Gia, selalu berlaku semaunya. Jadi Gia sudah memb...