06. Sang Penyelamat

38 2 0
                                    

"Reyy sakittt! Lepasin! Kamu bikin tanganku memar," ucap Gia dengan mata berkaca-kaca. Dia nggak bohong, ini benar-benar sakit. Itu bekas cengkraman tangan Naka kemarin. Sakitnya bahkan belum hilang dan Rey malah memperparahnya. Tiba-tiba Naka datang dan menghempaskan tangan Rey dari tangannya. Kapan Naka datang?

"Gue ada perlu sama cewek ini," ucapnya sambil menarik tangan Gia menuju motornya. Dia menyerahkan helmnya kepada Gia yang diterima Gia dengan bingung.

"Naik." Naka sudah menaiki motornya. Apa tadi Naka menyuruhnya naik ke motornya? Gia takut salah dengar. Dia masih saja mematung sampai bentakan Naka membuatnya kaget.

"Buruan!"

Ah.. ternyata dia tidak salah dengar.

Dengan segera dia menaiki motor milik Naka. Sebisa mungkin Gia tidak menyentuh pundak Naka, karena Gia tau Naka itu membencinya. Tapi karena motor Naka yang terlalu tinggi mau tidak mau Gia tetap harus berpegangan pada Naka. Tapi Gia hanya berpegangan pada ujung ransel Naka saja kok! Dia tidak mau diturunkan di tengah jalan karena membuat Naka kesal.

*****

Ternyata Naka mengantarkan Gia sampai ke rumahnya. Berarti tadi Naka membantunya? Tapi kenapa? Bukannya Naka benci Gia? Tapi sudahlah, seharusnya Gia bersyukur dia bisa selamat dari Rey saat di parkiran tadi. Eh, ngomong-ngomong soal parkiran dia jadi lupa belum menghubungi Nasya kalau dia sudah pulang duluan. Segera saja dia mengambil ponselnya dan mulai mengetikkan pesan untuk Nasya.

Sementara itu Naka masih mengamati Gia yang terus berkutat dengan ponselnya. Sedari di motor tadi sampai turun dari motor Gia tidak mengatakan sepatah kata pun. Dan sekarang malah asik dengan ponselnya. Benar-benar tidak tau terima kasih. Tau bagitu tadi Naka tidak perlu repot-repot menolongnya dari Rey.

"Eh, maaf Naka aku lupa kamu masih disini," kata Gia dengan cengiran khasnya.

"Ehm—makasih buat tadi dan makasih juga udah nganterin Gia. Kamu mau mampir dulu?"

Sebenarnya Naka tau itu cuma basa-basi Gia saja. Tapi ya kenapa tidak? Dia juga sudah lama tidak main ke rumah Gia. Dia rindu dengan Tante Desi.

"Boleh," ujarnya dengan langsung melewati Gia begitu saja.

*****

"Lo sayang, katanya mau main sama Nasya tapi kok,-" Desi terlihat terkejut melihat keberadaan Naka. Dia kira anaknya pulang sendirian tidak taunya bersama Naka.

"Eh, Naka. Kangen banget Tante sama kamu," seru Desi seraya memeluk Naka dengan erat. Setelah puas memeluk Naka, Desi kemudian mengamati Naka dari atas hingga bawah. Ditatap seperti itu membuat Naka menjadi agak risih.

"Kamu makin ganteng aja sekarang, waktu di rumah kamu kemarin kita belum sempet ngobrol kan? Kamu apa kabar? Mama kamu gimana? Udah sehat?" cerocos Desi membuat Naka pusing karena Desi terus bicara tanpa jeda.

"Mama baik Tante, dokter bilang jantungnya udah semakin membaik."

"Syukur kalau begitu, kamu sendiri gimana? Sehat kan?"

"Naka sehat Tante."

Melihat tingkah Maminya Gia jadi malu sendiri. Gia yakin Naka pasti risih dipeluk-peluk seperti itu. Karena malas melihat tingkah Maminya, Gia pun langsung naik ke atas menuju kamarnya. Maminya terlalu asik dengan Naka sampai lupa pada anaknya sendiri. Menyebalkan!

Setelah selesai berganti baju Gia langsung merebahkan diri di Kasur kesayangannya. Badannya terasa lelah sekali. Sebenarnya dia lapar. Tapi mengingat Naka masih di bawah bersama Maminya, lebih baik Gia makan nanti saja.

Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka, Gia yang kaget langsung mendudukkan diri dan menoleh ke arah pintu.

Ternyata itu Naka!

"Ngapain kamu masuk kesini?" tanya Gia dengan marah. Tentu saja dia marah, belum pernah ada laki-laki yang masuk kedalam kamarnya—kecuali Papinya. Dan sekarang Naka masuk dengan seenaknya. Mungkin dulu Naka sering keluar masuk kamarnya, tapi itu kan dulu. Sekarang mereka sudah dewasa. Harusnya Naka tidak boleh sembarangan masuk seperti ini.

"Tante Desi yang nyuruh, katanya gue boleh istirahat sebentar di sini." Dengan tampang tanpa dosanya Naka langsung merebahkan dirinya ke kasur milik Gia. Sontak saja Gia langsung turun dari kasur.

"Naka jangan sembarangan gini dong. Ini kamar cewek, kamu nggak bisa seenaknya masuk," ujar Gia dengan menatap Naka tajam.

"Gue cuma mau tidur bentar."

"Tidur sana di rumah kamu!"

"Pelit banget lo. Dulu juga lo sering tidur di kamar gue. Bahkan nangis-nangis minta tidur sama gue. Sekarang kenapa jadi sok jual mahal gini."

Perkataan Naka sungguh menyakiti hati Gia. Kenapa Naka bicara seolah dulu Gia sangat murahan. Lagipula itu kan sudah masa lalu, kenapa mengungkit hal-hal seperti itu.

"Itu kan dulu Naka. Kenapa sih masih bahas itu lagi?"

"Biar lo sadar betapa murahannya lo dulu. Gue juga masih inget gimana dulu lo ngemis-ngemis ke nyokap buat dinikahin sama gue. Dan sekarang minta dijodohin sama gue, bener-bener nggak habis pikir."

Naka keterlaluan. Itu kan hanya ucapan anak berseragam putih biru, kenapa juga harus dianggap serius. Mungkin benar kelakuannya dulu sangat menyebalkan atau bahkan menyusahkan bagi Naka. Tapi kan sekarang Gia sudah tidak seperti itu. Dia bahkan bersikap seperti orang yang tidak kenal jika berpapasan dengan Naka. Dan untuk masalah perjodohan, itu bukan kemauan Gia.

-Tbc-

Happy Monday!

Add cerita ini ke library kalian yaa, biar kalo cerita ini update kalian bisa dapet notif. Pantau teruss.

with love, nana.

Do You Love Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang