"Rama! Sorry, pasti nunggu lama." Padahal Gia sudah berlari juga tapi tetap saja lama, mungkin ini karena kakinya yang pendek.
"Eh, lo lari?" tanya Rama bingung, pasalnya Gia kini terlihat agak berantakan dan nafasnya juga terengah-engah.
"I-iya. Gia takut kamu kelamaan nunggu," jawab Gia sambil mencoba merapikan rambutnya.
"Ya ampun Gi, santai aja kali―gue juga nggak keberatan buat nunggu." Rama benar-benar tidak habis pikir dengan gadis ini, tapi dia jadi sedikit terharu juga.
"Gia kan nggak enak sama kamu. Gimana? kita jadi wawancara anak basket sekarang?" tanya Gia dengan mata yang kini mulai mengawasi area lapangan basket.
"Kita langsung kesana aja," ajak Rama sambil menunjuk segerombolan anak basket yang sedang beristirahat di tepi lapangan.
Jantung Gia mulai berdetak kencang. Disana ada Naka, dan Gia bingung harus apa. Walaupun dia selama ini sudah berhasil berpura-pura tidak mengenal Naka di sekolah, tetapi dia masih saja deg-degan setiap kali berhadapan dengan laki-laki itu.
"Hai, boleh minta waktunya sebentar?" tanya Rama dengan senyum ramahnya.
"Oh boleh, santai aja." Itu Arga. Dia ketua basket di sekolah dan orangnya juga ramah.
"Gue Rama dan ini Gia. Kita dari tim jurnalistik sekolah― mau wawancara sebentar bisa nggak?" tanya Rama dengan sopan.
"Gimana ya, masalahnya sekarang kita lagi sibuk banget latihan buat persiapan turnamen bulan depan," jawab Arga tidak enak.
"Ehm― nggak perlu semuanya kok. Kita cuma butuh satu orang aja buat diwawancara," ucap Gia. Dia merasa harus membantu Rama. Rama sudah susah-susah membuat daftar pertanyaan, jadi setidaknya dia harus membantu proses negosiasi ini.
"Gue mau diwawancara," sela Naka.
Kenapa Naka jadi ikut-ikutan begini sih? Gia kan maunya Arga saja yang diwawancara.
"Tapi tanpa dia," lanjut Naka sambil menunjuk ke arah Rama.
Sontak semua yang ada di lapangan mulai melirik ke arah mereka― Gia, Rama, dan Naka.
Drama apa lagi ini ya tuhan?
"Eh, mana bisa begitu? kalau nggak ada Rama, yang pegang kamera siapa?" ucap Gia membela Rama.
"Lo nggak tau gunanya tripod?" tanya Naka santai.
Benar juga, tapi tetap nggak bisa begini!
"Nggak bisa gitu dong,-"
"Udah nggak papa Gi, lo bisa kan wawancara tanpa gue?" tanya Rama sekaligus memotong ucapan Gia.
Wawancara tanpa Rama? Gia mana bisa!
"Nggak bisa Rama―Gia tuh nggak pernah wawancara orang sebelumnya," bisik Gia.
"Pasti bisa. Ntar gue bantu lo juga, gue ajari sampe lo bisa. Gimana, mau kan? Gue mohon banget sama lo Gi." Melihat Rama memohon seperti ini Gia jadi tidak punya pilihan lain. Jurnalistik pasti sangat berarti bagi Rama, Gia nggak bisa egois.
"Y-ya udah deh," jawabnya tidak rela.
"Oke, karena kita udah deal― ntar gue hubungin lo bisanya kapan," ucap Naka pada Gia.
Naka, apa sih rencana kamu sebenarnya?
*****
Sudah empat hari sejak kejadian di lapangan basket waktu itu dan Naka masih belum juga menghubungi Gia. Bahkan pesan Gia saja hanya dibaca. Apa Naka sengaja ingin mengerjai Gia? kalau memang benar, Naka sudah benar-benar keterlaluan.
"Gi, pinjem catetan lo dong," ujar Fandi sambil menarik rambutnya usil. Fandi itu teman sekelas Gia. Dia duduk di bangku belakang Gia.
"Apaan sih sakit tau!" bentak Gia tanpa sadar. Mood-nya sedang tidak bagus dan Fandi malah memancing emosinya.
"Santai dong. Gue cuma mau pinjem catetan aja kok," balas Fandi agak kesal.
Nasya yang duduk di sebelah Gia pun menatap keduanya heran. Tumben sekali Gia marah-marah begini. Gia itu anaknya jarang marah, bahkan nyaris tidak pernah. Jadi wajar saja kalau Nasya bingung melihat Gia yang seperti ini.
"Lo kenapa sih Gi? tumben banget marah-marah gini," tanya Nasya dengan dahi yang berkerut.
Ditanya seperti itu Gia jadi merasa sangat bersalah. Mood-nya terlalu buruk tadi sampai-sampai dia membantak Fandi. Gia pun menelungkupkan wajahnya di atas meja, rasanya dia ingin menangis.
Pikirannya saat ini benar-benar kalut. Naka sangat keterlaluan, kalau memang dia membenci Gia seharusnya tidak perlu melibatkan ekskul yang kini tengah ia ikuti. Gia tidak mau Rama juga kena dampaknya. Kalau sampai nanti Rama gagal masuk ke jurnalistik karenanya, Gia pasti tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri.
"Cerita dong Gi. Nggak biasanya juga lo kayak gini," bujuk Nasya.
Haruskah Gia menceritakan ini ke Nasya?
"Gia benci naka," ujar Gia pelan.
"Kenapa? Dia bikin gara-gara sama lo?!" tanya Nasya dengan marah. Dia tidak akan diam saja kalau Naka kembali membuat sahabatnya terluka.
Gia pun mulai menceritakan kejadian empat hari lalu kepada Nasya. Dia juga bercerita tentang Naka yang masih belum mengabarinya hingga saat ini. Naka juga tidak membalas pesan darinya, padahal batas waktu pengumpulan tugas tinggal tiga hari lagi.
"Mau gue temenin buat nyamperin Naka sekarang?" tawar Nasya.
"Sekarang banget?" tanya Gia tak yakin
"Iyalah sekarang. Lo bilang waktunya tinggal tiga hari lagi."
"Ya―iya sih," cicit Gia.
"Istirahat nanti kita samperin Naka," putus Nasya langsung.
-Tbc-
Dah mulai rutin nih updatenyaaa
Jangan lupa vote dan komennya
with love, nana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Do You Love Me?
Teen FictionGia suka Naka. Tapi itu dulu, sebelum Naka menyakitinya sampai seperti ini. Kalian harus tau Naka itu selalu ketus, irit bicara, dan omongannya juga selalu pedas. Dia tidak pernah memikirkan perasaan Gia, selalu berlaku semaunya. Jadi Gia sudah memb...