0.0 Di Balik Kepergian Opa

224 13 2
                                    

Sore itu gerimis turun membungkus kota—membasahi payung hitam yang melindungi para tuannya sekaligus menemani kesedihan yang tengah menghampiri mereka. Beberapa mengusap sisa air mata yang membasahi pipi mereka. Beberapa lagi menatap nanar gundukan tanah dengan kelopak bunga yang bertaburan di atasnya. Sisanya menghela napas mengusapi nisan, mengikhlaskan kepergian yang rasanya terlampau cepat. Setelah pembacaan doa dan penutupan, satu-persatu pergi meninggalkan.

Pemuda itu menghela napas, menatap Omanya yang masih setia bersimpuh di samping pusara suaminya yang baru saja dikebumikan. Ia yang semula berdiri memegang payung, ikut jongkok di sebelah Omanya yang tersayang. Merengkuh pundak wanita paruh baya itu, membuat tangisnya tak bisa dibendung lagi. Tangis Oma pemuda itu pecah ditemani hujan yang makin deras. Oma memeluk cucunya erat sekali. "Harusnya Oma dulu yang pergi Baal. Oma ga tau gimana hidup Oma tanpa Opa."

Pemuda itu menghela napas. Ia tahu cintanya Oma begitu besar terhadap Opa. Ia juga iri terhadap mereka berdua. Berharap ia menemukan cinta seperti mereka. Bagaimana tidak? Mereka sudah puluhan tahun hidup bersama. Melewati bahagia dan lara berdua. Ia paham betul. Tapi bagaimana lagi? Tuhan sepertinya lebih sayang Opa.

"Ada Iqbaal Oma." katanya mengelus pundak Omanya menenangkan.

Oma tersenyum, ia mengelus punggung tangan cucunya. "Tapi Baal, harusnya Oma ikut." katanya membuat satu bulir air mata kembali turun membasahi pipi.

"Oma pergi, Iqbaal sama siapa?"

Oma menghela napas mengalihkan netranya yang awalnya menatap pusara mendiang suaminya menjadi menatap Iqbaal di sebelahnya. Ia mengusap pipi Iqbaal yang basah.

"Opamu orang baik Baal."

Iqbaal mengangguk. "Ikhlasin Opa, Oma. Opa pasti sedih liat Oma masih di sini. Kita pulang sekarang yah?"

"Oma sayang Opa." ucap Oma dengan suara bergetar diikuti isakan pelan membuat Iqbaal ikut merasakan pilunya. Cowok itu mengeratkan pelukannya, merengkuh punggung oma yang bergetar.

👑👑👑

Seminggu setelah kepergian Opa, semua kembali seperti semula. Ya begitulah hidup, bumi terus berputar apapun yang terjadi. Pun Oma ia sekarang sudah punya hobi baru— berkebun, meskipun beberapakali Oma lebih sering diam—melamun ketika melihat foto Opa yang terpajang di dinding juga ketika membuka kumpulan album foto mereka berdua. Mengulang berbagai memori yang keduanya lalui. Walaupun begitu, itu jauh lebih baik. Oma sudah mau makan. Ia sepertinya sudah mengikhlaskan Opa dan menerima hidupnya yang baru—tanpa Opa.

"Baal, hidup itu tentang waktu. Waktu yang menciptakan semua memori yang ada di hidup kita. Jadi selagi kamu punya waktu, kamu harus memanfaatkan sebaik-baiknya."

Iqbaal tersenyum, menaruh cangkir tehnya ke meja. "Iya Oma."

Hingga derap langkah seseorang terdengar masuk ke ruangan. Membuat Iqbaal memasang muka datarnya lagi. Adalah Irawan ayahnya menggenggam map yang entah apa isinya.

Puuk! Irawan melemparkan map itu di hadapan Iqbaal membuat isinya berceceran. Pria itu menatap anaknya bengis. Ia sungguh kesal dengan kelakuan anak laki-lakinya. "Bagus yah, Papah kirim kamu ke Amerika buat sekolah di sana. Bukan main-main begini Baal. Apa susahnya? Tinggal duduk dan belajar. Kamu itu penerus perusahaan." tukasnya sambil memijat pangkal hidungnya.

"Rasanya Papah udah gak tahan sama kelakuan kamu." lanjutnya menatap Iqbaal tajam.

"Dari dulu saya gak minta buat sekolah di sana. Itukan kemaun Papah yang gak mau kalah sama Om Evan."

Little Nyonya [IDR]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang