Aku menatap sepiring pasta yang sudah mulai dingin karena sedikitpun tidak aku sentuh. Bagaimana bisa menyentuhnya? Tangan kananku sedang retak tidak bisa memegang sendok—mustahil menyuapkan makanan ke dalam mulut, pun sulit rasanya makan dengan tangan kiri. Alhasil aku harus menunggu Cika yang sedang mengambil jus pesanannya.
Jani? Dia tidak ikut ke kantin, cewek itu sedang bersikeras di ruang seni menyelesaikan lukisannya yang tinggal seperempat. Aku mengedarkan pandanganku mencari punggung Cika, harusnya cewek itu sudah kembali kalau cuma memgambil jus pesanannya. Namun, sepertinya kebiasaan Cika yang menyebalkam belum hilang juga, aku tebak cewek itu sedang ngerumpi di barisan antrean, atau sedang menguping gosip, atau yang palimg sering tengah berburu cowok ganteng, lebih-lebih karena sekarang semester baru, banyak wajah baru yang muncul. Ck! Dasar Cika... Cika.
"Makanan itu di makan, bukan di pandangin Nay, daripada lo mandangin tuh pasta mending lihat muka gue." tukas Rama tiba-tiba menjatuhkan bokongnya di kursi depanku.
Aku diam sebentar, mengesampingkan pendapat Rama. Mataku malah mengalihkan pandangan ke belakang, mencari tiga orang lain yang sepaket dengan Rama, terutama yang satu itu.
"Iqbaal sama yang lain makan di kantin film. Kalau itu maksud dari tatapan lo." katanya tersenyum.
"Terus Ram, lo kenapa ga ikut, malah numpang di sini?"
"Kangen sama lo." jawabnya enteng.
Aku berdecak. "Garing lo."
"Sumpek Nay di sana, apalagi banyak anak baru jadi gitu deh, masih pada terkagum-kagum sama Kevin, Nadhif, terutama tunangan lo." ujarnya tertawa.
Aku cuma menyunggingkan senyum tipis. Kemudian pandanganku kembali menyisir kantin. "Cika mana si?"
mendengar gumamanku Rama ikut menjenjangkan lehernya mencari Cika. "Tuh Cika di belakang lo."
Aku menatap Cika tajam. Cewek itu malah nyengir lebar mendapati bangku di depanku ada Rama.
"Lo ambil jus di mana si Cik? Dubai? Lama banget laper tau." kataku memandang Cika yang meletakan jusnya ke meja.
"Antre Nay, gue aja ini nyerobot punya orang makanya ga jadi pesan jus semangka." timpalnya, kemudian menyunggingkan senyuman yang begitu manis menatap Rama yang duduk di sebelahnya. Melihat itu Rama mengangguk, melambaikan tangannya balas tersenyum ramah.
"Kayanya Rama makin beda ya?" katanya masi menatap Rama lekat. Cowok itu mengeryit bingung, perasaan dia masih sama saja, berat badannya tidak turun ataupun naik, rambutnya juga masih sama seperti ia terakhir bertemu Cika, kulitnya pun warnanya masih sama. Jadi di mana letak perbedaannya?
Rama menatapku, seolah bertanya 'Emang iya gue berubah kaya apa yang diomongin Cika?' Aku menggeleng menaikan bahu.
"Makin ganteng." ceplos Cika dengan tawa lirih malu-malu mengikuti kalimatnya.
Mendengar itu Rama tak bisa menahan tawanya. Aku cuma geleng-geleng. Ya sahabatku itu memang ratu gombal. Harusnya aku sudah biasa dan tidak terkejut.
"Cik, laper." rengekku memandang sepiring pasta.
"Tinggal makan, kenapa harus nungguin gue?"
Aku menatap mukanya tajam. "Kalau bisa udah gue makan dari tadi." kataku melirik tanganku yang di gips dalam gendongan.
"Tangan lo kenapa Nay?"
"Fraktur karena jatoh dari gendongannya Iqbaal, gitu si katanya." sambar Cika, membuatku mengatupkan mulutku kembali.
"Pasti sakit banget yah Nay?"
"Kata dokter seminggu lagi boleh dilepas Ram."
Rama mengangguk. "Cik lo makan aja, biar gue yang suapin Nay."
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Nyonya [IDR]
Fiksi PenggemarSetiap anak perempuan dalam hidupnya pasti pernah memimpikan dirinya menjadi seorang putri di sebuah kerajaan. Memakai mahkota di kepalanya, memakai gaun cantik, dan memakai sepatu bagus, yang nantinya mengantarkannya bertemu dengan seorang pangeran...