0.2 Kabar Sendu

49 3 0
                                    

Mataku terbelalak kaget mendapati rumahku yang sepeti kapal pecah. Semua barang berserakan di lantai. Ada apa sebenarnya?

"Ketemu!" tukas Ibu di balik pintu kamarnya membuat ayah bersorak bahagia.

Mendengar itu, aku segera berlari. Ingin tahu apa yang terjadi.

"Lo bakalan dijodohin Kak!" kata adik laki-lakiku, Arven.

Mendengar itu, aku tertawa begitu keras. Apa hubungannya barang-barang di rumah berserakan dengan aku yang akan dijodohkan. Arven, adikku itu suka sekali mengerjaiku. Namun yang kali ini, aku tidak bisa ditipu. Aku tersenyum penuh kemenangan menatapnya.

"Serius Kak! Mereka tadi cari kalung peninggalan Eyang" katanya terkikik.

Belum tanganku yang akan menjitak kepalanya mendarat dengan sempurna,  bell rumah tiba-tiba berbunyi. Menampakan empat orang mengenakan jas hitam-hitam dan disambut ramah oleh Ibu dan Ayahku. Aku menatap mereka heran. Adiku—Arven menepuk punggungku. Dia kini yang tersenyum penuh kemenangan.

"Kita dikirim tuan Irawan untuk menyampaikan sesuatu. Kalau memang putri anda bersedia. Putri anda besok diminta ke rumahnya mengantar kalung ini, sebagai bukti kalau dia memang cucu dari Ardana."

Ibuku tersenyum, pun ayahku melakukan hal yang sama dan sesekali mengangguk mengiyakan. Apa yang sedang dibicarakan sebenarnya? Dari tadi aku mau memguping susah sekali. Mereka bicaranya seperti kumur-kumur, tidak jelas.

"Lo mau dijodihin sama konglomerat. Teman dekat Eyang." kata Arven lagi.

Aku menghembuskan napasku kasar. Menggeplak jidat adikku. "Kalau bercanda atau mau ngibulin otaknya dipake adikku sayang."

Arven melotot. "Dikasih tau gak percaya."

Aku memutar mataku. Berjalan menuju kamar, meninggalkan Arven yang masih curi-curi pandang ke ruamg tamu.

👑👑👑

Irawan menggeleng, menatap wajah putranya yang duduk di depannya. "Papah udah gak ngerti lagi Baal sama kelakuan kamu."

Iqbaal diam saja, menunduk mendengarkan. "Capek papah Baal. Cepat tua ngurisin kamu yang bandel."

Irawan menghembuskan napasnya. Ia memijat pangkal hidungnya. "Apa kamu ga betah banget di rumah? Sampai-sampai kabur ke rumah Nadhif satu minggu?"

Iqbaal masih diam. Cowok itu malah memainkan jarinya. Ini juga tetap kesalahannya. Mau seperti apa menyangkal juga sama saja. Yang ada keributan kecil ini akan menjadikan keributan besar yang mengakibatkan perang dunia kesekian dengan papanya. Iqbaal sedang malas ribut. Juga ia tidak mau membuat Omanya sedih.

Derit pintu, membawa langkah Nia—Mamah dan Oma Iqbaal masuk ke dalam, bergabung dengan mereka berdua—Iqbaal dan Ayahnya.

Nia menghembuskan napas pelan. Menatap putranya. "Mamah tahu kamu kesepian di rumah ini. Apalagi adik kamu udah berangkat keluar Negeri."

Iqbaal diam saja. Sebenarnya ia tidak betah di rumah karena setiap kali di rumah ada banyak sekali aktivitas yang harus dijalankan. Belajar ini, belajar itu. Rumah yang katanya rumah nyatanya baginya adalah penjara. Tapi di Amerika juga sama saja. Dia tidak bebas, tetap saja ada yang mengawasi. Selama dirinya masih menjadi Iqbaal apapun yang dia lakukan pasti akan jadi pusat perhatian. Terutama bagi Papahnya.

"Mamah tahu solusi terbaik biar kamu gak kesepian Baal."

"Dan Oma juga setuju usul Mama." ucap Oma mantap.

Iqbaal mengeryitkan alisnya bingung.

"Kamu ingat pesan Opa?"

Iqbaal membulatkan matanya. Dia menggeleng tegas. "Iqbaal punya pilhan sendiri!"

Little Nyonya [IDR]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang