TWENTY

98 21 6
                                    

Cerita ini hanya fiksi. Jika ada kesalahan atau typo, mohon dimaafkan.

*

"Sudah waktunya kau sadar, Yeol." Mackenyu meninggalkan Yeol sendirian di kamarnya. Dia mengusap wajahnya begitu keluar setelah menutup pintunya.

Keterlibatannya dalam masalah Chanyeol dan Eunji, memang terlihat keterlaluan atau sudah kelewat batas. Dia seharusnya tidak berhak menceramahi, padahal dia sendiri belum pernah merasakannya untuk orang yang tidak punya pengalaman menikah dan seterusnya. Kesannya sok tahu. Saking penasarannya apa yang ada di balik kertas itu, Mackenyu memeriksanya setelah Eunji dijemput temannya di depan kedai Nenek Deoli.

Tapi setidaknya dia mengerti satu hal yang bisa diambil dari pengalamannya Ketika orang tua memulai konflik dan berseteru satu sama lain, mereka hanya memikirkan perasaan masing. Tanpa memikirkan bagaimana hancurnya hati seorang anak melihat orangtuanya tidak akur dan ingin berpisah. Hal itu menjadi trauma besar untuk anaknya, ketimbang orang tuanya sendiri. Mackenyu pernah merasakannya waktu kecil.

Itulah kenapa Mackenyu tidak ingin membiarkan ini terjadi. Dia ingin Chanyeol berubah dan berpikirlah. Dia tahu anak-anak dari temannya itu sudah tiada, tapi setidaknya wujudkanlah keinginan mereka. Walaupun yang terakhir kalinya.

Mackenyu memasukkan tangannya ke saku celananya sambil melihat langit malam. "Langit indah ini memang merusak segalanya," hembusnya. "Tidak heran dia menyalahkannya. Entah kenapa aku menginginkan hujan, untuk mengerti perasaanku dan terutama pada orang yang sedang derita di dalam ruangan ini." Mackenyu memandangi pintu kamarnya Chanyeol. "Kumohon pastikan dia berhenti melukai dirinya sendiri dan berada di jalan yang sebenar-benarnya."

***

Chanyeol berada di dekat meja pendeknya saat ini. Dia sedang menggenggam kertas berkerut yang dilipat. Dia merasa kalau benda yang dipegangnya seperti tidak asing, meski yang terlihat cuman warna putih polos. Namun, rupanya tidak hanya sekadar itu, dia juga bisa merasakan waktu terulang.

Dia dapat membayangkan bagaimana suasana dari kenangan kertas itu ketika membuka lipatannya.

"Appa! Appa!" Suara Yujin langsung terlintas di pikirannya.

Gambar itu tampak seperti nyata. Chanyeol merasakan kejadian itu terulang. Saat dirinya menemani Sejin yang sedang menggambar waktu itu. Yujin mendatangi mereka sehabis mandi.

Dia ingat kalau gambar di kertas itu adalah buatan Sejin. Tidak perlu harus dikagumkan mengenai hasil gambar seorang anak enam tahun. Gambarnya berantakan dan warna-warnanya juga tidak terlalu menyatu dengan benar.

Tapi makna dibalik itu yang membuat Chanyeol meneteskan air mata ketika melihatnya. Berisi dua orang dewasa pria dan wanita, serta kedua bocah lelaki yang merupakan kakak dan adik. Dengan latar belakang matahari bersama dengan awan di sebelahnya dan rumah kotak dengan atap segitiga di dekat empat anggota keluarga itu. Dilengkapi bunga-bungaan untuk menghiasi rumahnya serta pohon besar di sampingnya. Tidak lupa juga dia menambahkan hewan seperti burung di langit dekat awan-awan.

"Appa!" panggil Sejin menepuk pundak Chanyeol yang waktu itu sedang rebahan di sofa panjang. "Lihat gambarku!" Dia memamerkan hasil gambarnya di buku gambar ke ayahnya dan menjelaskan sosok orang-orang yang digambarnya di situ.

Chanyeol mengganti posisinya menjadi duduk untuk melihat lebih jelas dan berpikir setelah mengamatinya sebentar. "Wah, gambar Sejin bagus banget." kagumnya. Dia memaksa matanya terbuka lebar dengan tangannya. "Nih, lihat! Mata Appa sampai merah saking terpesonanya. Bagus banget soalnya."

Sejin tersipu mendengarnya.

"Anak Appa memang yang terbaik." Chanyeol tersenyum lebar sambil mencubit pipi anaknya dengan gemas. "Hebat sekali kamu." pujinya, "tapi kurang sesuatu."

Our Fallen Memories - SEASON 3 [CHANJI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang