14. Lost my hope

3 0 0
                                    

Satu hal yang tidak pernah Rachel sadari, kalau dirinya penuh dengan kekhawatiran. Bayang-bayang tentang hal yang mungkin tidak bisa Rachel miliki begitu mengganggu, apalagi saat dia sendiri mengalami kegagalan yang ditakutkannya.

Tes urin menyatakan bahwa Rachel dan Deva tidak ikut menggunakan narkoba telah keluar, tapi cewek itu masih was-was. Meski Deva yang seharusnya lebih terbebani, malah masih selalu menunjukkan senyum tenang, seolah-olah tak ada masalah.

Deva beberapa kali menghubungi Rachel untuk bertanya apakah dia baik-baik saja? Sementara Rachel hanya mengabaikan semua pesan Deva dan memilih menangis.

Dunia kepopuleran yang Rachel inginkan sangat mengerikan. Tadinya Rachel kira, dunia itu sangat membahagiakan. Sampai saat itu tiba, sebuah bom meledak untuk menyadarkannya. Itu obsesi gila Rachel, dia ingin mendapatkan sebuah kepopuleran tanpa memikirkan jalan mencapainya dengan baik.

Rachel sudah dua hari absen sekolah dan memilih mengurung diri di kamar. Tak bisa Rachel tetap baik-baik saja setelah grup kelas, grup angkatan, dan grup-grup lainnya menggosipkannya yang tidak-tidak. Fitnah itu membuat binar mata Rachel meredup. Hidupnya miris!

"Chel, Ibumu datang. Kamu harus temui dia sekarang, sebelum pintu kamarmu didobrak," teriak Nenek dari depan pintu kamar Rachel. Nenek sudah bosan membujuk Rachel yang keras kepala. Cucunya gigih tetap mengurung diri. Padahal Nenek yang biasanya cukup keras pada Rachel, kali ini melembut karena khawatir.

Dari dalam kamarnya, Rachel menatap lurus langit-langit kamar yang di cat putih. Bola mata Rachel membola, rahangnya mengeras. Rachel ingin memeluk Ibunya, dia tak ingin sendiri, tapi sadar kalau Ibunya hanya datang untuk memarahi.

Seharian ini, entah sudah berapa kali Rachel memikirkan kemungkinan tatapan orang-orang akan menghakimi saat Rachel keluar dari rumah. Seakan-akan dunia akan menjadi neraka dan Rachel akan terjebak dengan bayang-bayang ketakutan.

Perlakuan Ibu terhadap Rachel yang semena-mena menyadarkan cewek itu kalau dirinya tak diinginkan. Apalagi setelah Ayahnya meninggal setahun setelah adik terakhirnya lahir, Ibunya bekerja dengan gila sampai jarang ada di rumah untuk melanjutkan hidup. Saat Ibunya ada waktu, hanya Rachel yang diabaikan.

Jadi, saat suara ketukan pintu membabi buta diseratai suara teriakan penuh amarah, hal itu tak terlalu mengecewakan bagi Rachel. Bukan hal yang harus Rachel harapkan bahwa Ibunya akan datang penuh khawatir untuk menyakinkan Rachel bahwa semua akan baik-baik saja. Ya, hanya Ibunya yang Rachel harapkan saat ini.

"Rachel, kamu sangat memalukan!" Teriakan Ibunya penuh amarah. "Kalau kamu menjelaskan semua ini, Ibu akan memaafkan. Sekarang buka pintunya!"

Rachel menitikkan sekali lagi bulir air matanya. "Ibu pulang aja! Karena percuma Rachel mau bilang apa pun, Ibu cuman mau tahu, bukan mengerti!" Emosi Rachel ikut mengalir saat mengatakannya. Persetan jika dirinya akan dikutuk saat ini juga.

Setelah memakai jaket dan sepasang sandal kamar doraemonnya, Rachel membuka pintu jendela dengan hati-hati. Walau jam masih menunjukkan pukul setengah delapan malam, kompeks perumahan ini sepi. Orang-orang terlalu sibuk bekerja dan pulang untuk beristirahat. Sangat sempurna, Rachel bisa keluar dari rumah tanpa harus merasa takut.

---

Haikal tidak senang setelah Ayahnya pulang. Rasa benci untuk Ayahnya menggunung, tapi Haikal tak berani untuk menyalurkan emosinya. Karena sebelum semuanya hancur, orang yang paling Haikal sayangi adalah Ayah, Ayah, dan Ayah.

Rasa sayang yang sebelumnya sangat besar sudah menguap, digantikan rasa benci yang sama besarnya.

Benar memang, harapan yang terlalu tinggi itu buruk. Dan sesuatu yang berlebihan lebih buruk lagi. Kini Haikal mengerti bahwa hidup jangan bergantung pada harapan, kalau dia mau tetap rasional.

Katanya kepribadian itu tidak bisa berubah, tapi Haikal merasa sekarang dirinya sudah menjadi introver. Padahal dulu ekstrover. Semenjak kesalahannya di SMA Elang, tentang Ayahnya yang berengsek, dan Aldo yang menuduhnya, Haikal jadi tidak punya banyak energi untuk menjalani hidup.

Saat keluar dari mini market kompleks dengan sekaleng kopi di genggaman telapak tangan kanannya. Mata Haikal menyipit, merasa tidak asing dengan seseorang yang sedang berjalan sembari menunduk.

Kaki Haikal berlarian kecil menuju Rachel. Ya, Haikal tahu bahwa Rachel adalah orang yang harus disalahkan setelah dua hari yang lalu Aldo bisa mendatanginya.

"Gegara lo, Chel. Aldo datengin gue dan ngamuk lagi," ucap Haikal dengan kesal. Matanya terfokus menatap wajah Rachel yang pucat. Tujuan Haikal yang tadinya mau memarahi Rachel tidak jadi.

"Lo dulu kenapa pergi dari SMA Elang, sih, Ka? Padahal di sana lo populer. Kenapa nggak dipertahanin?"

Haikal sempat mendengar berita tentang Anin, tetapi Rachel sudah dinyatakan tidak positif. Apa Rachel masih terbebani dengan berita itu?

"Lo pengen kayak gue, Chel? Pengen populer? Biar gue ceritain semuanya walau sebenarnya ini masa lalu yang paling gue benci."

Hari itu Haikal banyak bercerita, Rachel diam saja mendengarkan. Yang Rachel lewatkan saat membenci Haikal karena orang-orang banyak bertanya padanya, dia tak tahu kalau Haikal lebih membenci dirinya sendiri karena kepopuleran itu. Rachel tahu bahwa jika dia yang berada diposisi Haikal, belum tentu akan kuat.

Ini tentang komunikasi, semuanya mendadak lebih baik saat saling berbagi cerita, dan saling mengerti.

---

Salam,
Thechoconov

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 27, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RefrainedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang