---
Setelah disuruh pergi, langkah Rachel tersenggal-senggal, berbelok-belok. Seakan tak mempunyai tujuan, padahal kompleks tempat neneknya tinggal hanya tinggal tigaratus meter dari keberadaan Rachel.
Tadi, sebelum benar-benar pergi Rachel kembali ke kamarnya. Ia mengambil beberapa celengan ayam miliknya, laptop—namun segala permakepun dan barang-barang yang cukup mahal ia beli dari hasil menabung Rachel tinggalkan. Rasanya ia tak akan membutuhkan semua itu, lagi pula kopernya tak akan cukup jika Rachel mengikuti kemauan yang tak ada habisnya.
Sebuah kafe bernama Leahaus coffee menarik perhatian Rachel saat langkahnya hampir menuju pos kompleks, sekitar limapuluh meter dari sebrangnya. Gadis itu lagi-lagi berbelok arah mengunjunginya, namun kali ini Rachel tak banyak membuang waktu dan langsung memesan sebuah kopi aroma yang bisa dibawa pulang.
"Penghuni baru kompleks Timeless colonial?" tanya seorang lelaki yang sedang menyesap espresso di bar pemesanan kopi.
Rachel mengubah ekspresi keterkejutan pertanyaan itu dengan sebuah senyuman. "Cuman menginap."
"Menginap yang membawa koper, ada hotel ya, di kompleks itu?" tanya lelaki itu kembali.
Tiba-tiba emosi Rachel kembali mendidih, sehingga gadis itu cepat-cepat menyebutkan pesanannya kepada seorang barista dan pergi.
"Jangan takut sendiri, di dunia ini kita emang gak punya apa-apa, siapa-siapa. Karena kepemilikan itu cuman harapan bodoh yang ngebuat nggak realistis." Lelaki itu tiba-tiba saja tertawa namun bodohnya Rachel ikut tertawa, membuat lelaki itu tambah merasa bodoh.
"Ya, lo seakan bilang bahwa masalah itu bukan milik pemiliknya. Lo baru aja bilang mau bantuin masalah hidup gue?" skakmat Rachel membuat lelaki itu diam.
"Lo salah, karena selama hidup, gue nggak pernah nitipin harapan apa pun atau ke siapa pun. Tanpa peduli apa pun, buat gue kebahagiaan, keselamatan dan..." Rachel menghentikan ucapan yang membingungkannya saat itu juga. "Dan sesuatu yang gue belum pikirin yang akan jadi harapan gue. Nanti."
"Makasih, Mas," ucap Rachel setelah menerima pesanan kopinya, tanpa berbalik Rachel berlari menuju rumah neneknya dengan langkah cepat yang tiba-tiba saja seiring dengan meluruh tangisnya.
Lagi-lagi kompleks Timeles colonial begitu menakjubkan. Banyak space yang ditinggalkan kompleks hanya untuk menanam pohon dan berbagai tanaman. Juga, seluruh eksterior berbagai rumah tidak seratus persen sama walau tetap bertemakan eropa. Seakan sang pemilik komplesks dan arsiteknya bekerja sama menuangkan ide briliannya seliar mungkin.


Kompleks itu mewah, persis seperti sindiran Ibunya bahwa di sana banyak fasilitas menyenangkan seperti kolam renang, tempat bbq dll. Ibunya salah menilai, Rachel tak tertarik. Rumahnya yang hanya memiliki tiga kamar tidur tak besar yang harus berbagi-bagi tempat lebih disukainya.Disana neneknya tinggal sendiri dengan ambisi tidak mau memperkerjakan ART beralasan hemat. Ibunya tak salah tempat, karena disana neneknya akan dengan senang hati menyiksanya.
---
SMA Garuda pagi itu dihebohkan dengan kehadiran Haikal yang ngamuk kepada Bu Megan, seorang guru bahasa Jerman. Bangku-bangku dilemparkan, kursi-kursi dilompati diiringi teriakan keras Haikal.
"Kamu, seenaknya tidur ya, Haikal. Kamu pikir ilmu didapat dengan mudah? Kamu pikir enak jadi guru ngejelasin panjang-lebar sedangkan anak didiknya begitu?" Tanya Bu Megan berkacak pinggang, matanya melotot saat mendatangi bangku Haikal.
Padahal, ucapan itu tak terlalu jahat. Tetapi Haikal yang sudah rela kabur dari rumah sakit dengan lebam yang masih sakit—ucapan itu sangat sensitif. Sehingga tanpa gentar Haikal menatap Bu Megan tak kalah tajam, menunjuk papan tulis di hadapannya tanpa sudi melihatnya.
"Ibu marahin gara-gara itu? Teks digolongkan ke dalam tiga kelompok, der, die, dan das. Dalam kalimatnya, fungsi tiga benda digolongkan menurut empat kasus, yaitu: Kasus Nomonativ, Genitiv, Dativ dan Akkusativ. Pelajaran pembuka bahasa Jerman di kelas sepuluh, Ibu kira pelajaran dasar gitu sesusah itu sampai ngeluh-ngeluh gitu?"
Seluruh mata takjub, seseorang
Air muka Bu Megan mendingin sedangkan wajahnya memerah malu. "Kamu itu lagian anak pindahan, ya kan memang kelas duabelas akan disibukkin sama ulangan-ulangan yang dipelajari dari kelas sepuluh," bela Bu Megan tak terima."Guru itu sebenarnya bodoh atau nggak sih? Ngajarin itu-itu doang, bidang itu-itu doang. Mau mendemonstrasikan bahwa cuman bisa segitu doang?"
"Mau mendemonstrasikan bahwa kemampuan dan bakatnya disitu, puas?"
Selama ini Haikal selalu menjadi dingin, ketus dan tak banyak bicara. Satu kelas teman Haikal pun ikut terkejut dengan perdebatan itu ditambah meja yang tiba-tiba disebatnya keras sampai hampir hancur.
"Dan pelajaran bahasa asing itu Ibu yakin kepakai? Nyatanya kalau udah lulus, pelajaran di sekolah itu banyaknya jadi sampah."
"Sampah kalau orang pemalas kayak kamu yang jadi muridnya."
"Menurut Ibu kenapa Hitler dianggap sebegitu kejamnya padahal semua pembunuh itu jahat?"
"Karena Hitler lebih jahat sama kaum Yahudi disana!"
"Dan Ibu nggak tahu bahwa karena orang Yahudi itu Hitler yang buta nangis terus sampai nggak buta lagi gara-gara ngebuat Jerman kalah di perang dunia kesatu?!!"
"Ibu anak IPA dan nggak punya cita-cita jadi ahli sejarah."
"Saya juga bukan anak IPS dan nggak ada cita-cita jadi ahli sejarah. Tetapi saya nggak cuman mempelajari tabel periodik atau bahasa Jerman doang."
"Kamu itu murid! Yang tugasnya turut!"
"Ibu mau saya nurut?!!"
Bukannya nurut, Haikal malah mengobrak-abrik keadaan kelas, melemparkan seluruh benda yang mengganggu penglihatannya mengejar Bu Megan yang lari ketakutan, membuat beberapa meja rusak seakan Haikal sedang beratraksi dalam sebuah bela diri.
Tidak tahu saja orang-orang seberapa pemberontaknya Haikal jika disuruh menurut.
---
Kadang, walau kita nggak sengaja salah ngomong. Ucapan itu bisa ngebangkitin emosi orang lain. Kayak Rachel sama Haikal.
Terima kasih sudah mau membaca cerita ini, kalau ada banyak salah komen aja. Jangan lupa juga vote sama komen.
Salam,
Thechoconov
KAMU SEDANG MEMBACA
Refrained
Fiksi RemajaRachel Alavda, seseorang yang dulunya terjebak di dunia penuh gertakkan. Bagi Rachel, menjadi baik sering kali kurang objektif. Dunia yang penuh ketakutan untuk membuka diri, namun Rachel lebih takut kalau dunianya selamanya akan selalu gelap. Haika...