Dibadingkan dengan diperintah ini dan itu, di rumah Neneknya, Rachel malah terus diceramahi sampai membuat telinganya panas. Sebenarnya, Rachel akui, masalah salat lima kali sehari saja banyak bolongnya. Apalagi Neneknya itu tiba-tiba menjelma menjadi seorang ustazah copas.
"Kata pak ustaz, kalau lagi azan, jawab!" kata Nenek membuat Rachel mengipas-ngipaskan tangannya karena mendadak udara menjadi panas.
"Gimana-gimana?" tanya Rachel dengan nada tak sabaran.
"Ikutin aja, cara balesnya!"
"Hayya ‘alash shalaah."
"Salah. Kalau hayya ‘alash shalaah sama hayya 'alal falaah. Jawabnya, laa hawla wa laa quwwata illa billah."
Rachel mengedikkan bahunya. "Baru tahu Acel."
"Btw yang azan kok bagus Nek, siapa?"
"Laa illaha illallah."
"Nenek bilang, kalau azan tuh jawab, gak boleh ngomong. Jangan lupa baca salawat sama doa sesudah azan."
Huuh, Neneknya bawel sekali. Rachel tak suka. Lagi pula ia tak tahu bacaannya, meski di TV sekilas terdengar, tetap saja tidak ingat.
"Yang azan siapa, Nek? Suaranya bagus tuh, kalau jadi penyanyi bakalan keren," ucap Rachel tersenyum senang. "Bagus nyanyi lagunya Metallica, Green day, Akon, Linkin Park—."
"Ahh, musik keras. Bisa-bisa telinga Nenek meledak," keluh Nenek bergidik ngeri.
"Kan bukan Nenek yang ngedengerinnya."
"Ngaco kamu, Chel. Suaranya itu lembut gitu, main bercandain suara orang. Dia itu nggak berselera sama gendre musik gitu, sukanya paling murotalan."
"Alah, Nenek palingan sok tahu."
"Kamu ini kalau dibilangin, yang ada kamu yang malah kelihatan ngotot. Udahlah salat aja, jangan banyak ngomong. Lagian kamu udah wudu, jangan dilama-lamain."
"Emang biasanya Acel kalau salat suka dilama-lamain, diakhir-akhirin. Nenek aja yang suka maksa orang!" decak Rachel kesal, matanya memutar begitu Neneknya akan berbicara lagi.
"Udah lah, sekarang salat mau di kamar Acel aja!" Kemudian Rachel membawa kembali sajadah dan mukenanya dari karpet di kamar Nenek.
Tetap dengan wajahnya yang ditekuk, mulutnya yang menggerutu, dan matanya yang melotot. Ketika salat, bukannya merasa tenang dan ikhlas, malah merasa benci dan terpaksa. Padahal, dirinya sedang menghadap pencipta, tetapi malah rasa amarah yang terus menghinggapi jiwanya.
Sesampai di kamarnya, Rachel melemparkan sajadah dan mukenanya. Menangis sejadi-jadinya. Rasanya Rachel marah kepada Tuhan. Mengapa hidup tak pernah adil untuk dirinya?
Di sela-sela tangisnya, ada sebuah kebohongan yang akhir-akhir ini Rachel sadari. Karena setiap azan didengarnya di kompleks ini, jiwanya yang keras perlahan mulai tersentuh.
---
Selama beberapa detik, Sally menatap sebuah gedung apartemen di daerah PIK tanpa berkedip. Apartement yang diputari oleh tempat hiburan malam seperti, taman bir, bar karaoke, dan kelab dansa. Seberapa bandelnya pemilik salah satu unit apartment itu? Berani sekali berbicara bahwa Sally telah berubah, sedangkan dirinya saja tak berkaca.
Ya, dulu pemiliknya begitu menjijikan di mata Sally. Tetapi, setelah tiba-tiba menghilang, kemenjijikan itu Sally yang gantikan.
Di tangannya sudah ada beberapa botol Vodka dengan kadar alkohol diatas tigapuluh lima persen, pasalnya ini masih siang. Hari ini Sabtu dan Sally akan menghabiskan waktunya sampai mabuk di salah satu unit apartemen studio disana.
Unit milik Dion, yang setiap akhir pekan disewanya. Dan, dulu unit itu milik Haikal, lelaki yang membuat pikiran Sally mulai tak waras.
Di lain tempat, rumah Haikal kedatangan teman-temannya. Mereka semua berkumpul di halaman belakang. Kelima lelaki itu sama-sama menatap tajam face target. Mereka mulai menarik tali busur dan membidik face target itu secara bersamaan.
"Argh!!" teriak Aldi menatap jarinya ngilu, betapa kagetnya saat potongan anak panah menancap pada jempolnya.
Bukannya kasihan, Mario malah tertawa lepas. "Kalau udah kayak begitu ya, harus digunting kulit jempolnya. Lumayan loh, Al. Sakit."
"Bawa ke kninik yang deket aja, Mar," kata Irham dengan tatapan memerintah.
Mario menggeleng cepat. "Kagak mau, dibilangin si Aldi malah ngotot. Kalau anak panah itu sebelum dipasangin sama busur, di putarin dulu dari bawah ke atas, sekalian ngecek kondisi anak panahnya. Nah ini, sok tahu dan malah nggak mau pake finger tab. Ngakak kan, jadinya."
"Sorry Al, salah lo juga sih. Ini gue udah janjian sama Bang Reno, sekarang juga mau kesini," kata Irham tak enak hati, ekspresi wajahnya dibuat-buat seakan ia prihatin.
"Sakit ogeb! Ya Allah kenapa gue punya temen apatis semua, sih," ucap Aldi kesal dengan ekspresi menahan sakit.
"Ah, drama. Yaudah gue anter," kata Haikal akhirnya walau dengan terpaksa, pasalnya ia masih menikmati euphoria kemampuannya yang baru saja bisa memanah sembari berjalan.
Aldi mengejar langkah Haikal yang tiba-tiba saja sudah menjauh tanpa bilang-bilang, padahal ia serius bahwa jempolnya benar-benar sakit. Baru hari ini Aldi menarik busur dengan gaya menyunah seperti Rasulullah. Tetapi, sepertinya ia kapok dan berniat kembali memakai tiga jari saat menariknya, seperti semula.
"Tunggu Al, gue ikut," ucap Dion ikut mengejar Haikal.
Saat berada di klinik, Aldi menjerit-jerit. Kulit jari jempolnya benar saja digunting dan diberikan beberapa jahitan. Sakit, walau sudah dibius. Aldi sakit hati melihatnya, jari tangan kanannya. Bagaimana ia menulis nanti? Walau Aldi sebenarnya tak suka menulis, catatan bukunya pun banyak yang kosong. Tetapi, kini Aldi menyesal, lebih baik ia menulis dari pada jarinya begini.
Sedangkan Haikal dan Dion dibelakangnya biasa saja, mereka sudah berkali-kali menghadapi keadaan begitu, entah sudah berapa kali jarinya lecet, dadanya tersibak busur, dan mereka tetap menikmati permainan panahan itu.
"Hai-kal, yang waktu itu nyerempet tuh Aldo. Tapi setelah dicari tahu, untungnya rumah lo belum ketahuan," bisik Dion tepat di telinga Haikal.
Sepupunya itu tersenyum tipis, lalu mengalihkan pandangannya. Semua orang berubah, bukan? Dan, salah satu hal yang ingin Haikal ubah adalah tak lagi bertemu manusia semacam Aldo atau sejenisnya.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Refrained
Teen FictionRachel Alavda, seseorang yang dulunya terjebak di dunia penuh gertakkan. Bagi Rachel, menjadi baik sering kali kurang objektif. Dunia yang penuh ketakutan untuk membuka diri, namun Rachel lebih takut kalau dunianya selamanya akan selalu gelap. Haika...