Sudah sebulan lebih ayah Haikal tidak pulang, cowok itu sendiri curiga karena wanita itu. Yang kini diketahuinya sebagai istri siri dan merupakan mantan ayahnya kala SMA. Tetapi ibunya masih sama, sibuk dengan pekerjaan, dan sama sekali tak merasa terusik dengan ketidakpulangan suaminya.
Sayangnya semua itu masih terasa menyakitkan bagi Haikal, berbeda dengan Ibunya yang acuh tak acuh seperti mati rasa. Haikal mengacak rambutnya frustasi, lalu menatap Ibunya yang kini sedang membaca majalah fashion setajam mungkin.
"Kenapa ayah nggak pulang-pulang, Bu?" tanya Haikal dengan intonasi datar.
"Ibu gatau," jawab Amara sesantai mungkin, lalu menyesap teh herbalnya, dan kembali melanjutkan membaca majalah.
"Kalian itu suami istri. Kenapa kayak orang asing? Haikal kira, ayah itu pahlawan waktu masih kecil. Sekarang Haikal tahu bahwa dia enggak lebih dari seorang yang kurang ajar." Mata Haikal berubah merah, cowok itu merasakan hatinya berubah sesak. "Pria yang menjadi ayah Haikal, punya istri simpanan di belakang kita."
"Ibu tahu. Tapi selama ayahmu masih mempertahankan keluarga ini, enggak apa-apa."
"Bisa-bisanya ngomong semudah itu, Bu?" Amara terdiam, fokusnya berubah menatap putra tunggalnya dengan tatapan sulit.
"Ibu pikir, pernikahan itu main-main?"
"Berusaha sekeras apa pun, percuma. Karena yang ayahmu inginkan adalah dia."
"Setidaknya harus ngejaga semuanya tetap diposisi aman. Ayah, seharusnya cuman ada di lingkaran keluarga ini aja. Apa itu sulit?"
"Ayahmu keras kepala dan Ibu bersyukur dia masih mau di sisi kita."
"Ini nggak normal, Bu. Selama ini, ayah atau ibu nggak pernah yang namanya ngobrol dengan akrab, saling perhatian, ataupun saling melindungi. Haikal sakit hati ada di keluarga ini. Apaan? Cuman takut semuanya berakhir? Ibu takut berpisah sama ayah? Tapi dengan begini, kepala Haikal bisa pecah. Karena kita tetep keluarga, itu beban."
"Wanita itu punya anak dari ayahmu."
"Apa itu alasan yang logis untuk ayah jadi bisa melepaskan tanggung jawabnya di keluarga ini?"
"Kamu terlalu banyak bertanya, Ibu jadi pusing."
"Seharusnya wanita itu tahu, ayah sudah berkeluarga. Tak baik merebut seseorang yang sudah memiliki keluarga. Tak peduli seberapa mereka saling mencintai, karena wanita itu begitu jahatnya membuat keluarga ini sangat kacau."
"Namanya Dea, Kal. Ibu yang jahat jadi penghalang, buat Dea dan ayahmu, selama bertahun-tahun."
"Dulu, mungkin memang ibu yang jahat. Tapi sekarang, dia yang jahat. Haikal doakan, semoga keluarganya juga segera berubah kacau sampai mereka nggak bisa bahagia lagi."
Amara melotot. "KAMU YANG JAHAT, KAL!"
Bibir Haikal tersinggung miring, cowok itu mendekati ibunya. Merebut majalah dalam genggaman Ibunya dengan kasar, lalu merobek-robek beberapa halaman sebelum melemparkannya ke lantai.
Amara syok, menutup mulutnya. Dia tak kenal putranya yang seperti ini. Haikal yang bandel sudah lewat, ini bukan putranya.
"Kamu nggak pernah berubah, Kal," ucap Amara penuh kekecewaan.
"Terserah, karena berubah menjadi anak baik pun, semuanya nggak pernah bikin Haikal dibanggain sama ibu atau ayah."
Haikal tak berpikir lebih banyak selain berjalan kaki di sekitaran kompleks di waktu yang sudah larut malam. Tiba-tiba saja, seperti sebuah palu besar telah menghujam hatinya.
Saat langkahnya berhenti di depan sebuah mini market, Haikal memasukinya untuk membeli sebuah kopi kalengan. Diminumnya kopi itu di bangku panjang depan mini market.
Baru sekali menegaknya, kaleng kopi yang dibeli Haikal sudah terpental jauh bersamaan dengan bibirnya yang berubah lebam. Di hadapannya ada Aldo, dengan sebuah tatapan mengejek.
"Long time no see, Haikal."
---
Setelah iklan kemeja bersama. Deva, Anin, dan Rachel, tetap berkomunikasi dengan baik. Dan masih tetap Anin menggoda Deva yang berakhir selalu ditolak. Kadang-kadang penolakkan Deva kepada Anin sangat lucu, karena cewek itu selalu berkata bahwa nanti Deva yang akan mengejarnya. Padahal Deva sudah sangat jengkel, dan setiap kali itu terjadi, ekspresi Deva seperti ingin menelan Anin hidup-hidup.
Puncaknya hari ini, di ulang tahun Anin yang ke dua puluh tiga tahun. Deva yang merasa seperti asing dengan dunia pertemanan Anin terus-menerus berada di samping Rachel. Bahkan tanpa segan, Anin menembak Deva di panggung acara.
"Gue lagi takut sama alkohol yang ada di mana-mana. Anin malah nunjukkin kelakuan ajaibnya lagi, Chel," adu Deva dengan raut lelah. "Padahal dibela-belain dateng ke sini setelah pulang syuting. Eh, setelah ada di sini malah dibuat nggak nyaman."
"Gue juga takut sama alkohol itu, Ka Dev. Belum pernah nyoba dan takut sama dosa," balas Rachel ikut bingung. "Tapi, naik dulu ke atas panggung, sana!" Rachel mendorong Deva yang tampak ragu-ragu.
"Gue bakalan tetep nolak," ucap Deva penuh keyakinan.
Perhatian Rachel dan Deva tak lagi terhadap Anin dengan kelakuan ajaibnya. Wajah mereka berdua sama-sama memias melihat segerombolan petugas kepolisian memasuki area halaman belakang rumah Anin.
Polisi membuat semuanya heboh. Ternyata Anin berpesta narkoba di ulang tahunnya. Tetapi sungguh! Rachel tidak tahu apa-apa.
Mereka semua ditahan, polisi menyuruh mereka semua melakukan tes. Wartawan berdatangan. Rachel menatap Deva dengan sendu. Deva, si aktor yang sedang naik daun di bawah naungan agensi yang terkenal super ketat. Rachel takut akan ada dirinya di media dan Ibunya akan mengintrogasi. Tetapi itu bukan apa-apa dibandingkan karir Deva yang diambang kehancuran.
"Kak Deva, semuanya nggak akan apa-apa, kan?" tanya Rachel, tetapi Deva mematung dengan tatapan kosong yang mengkhawatirkan.
---
Salam,
Thechoconov
KAMU SEDANG MEMBACA
Refrained
Fiksi RemajaRachel Alavda, seseorang yang dulunya terjebak di dunia penuh gertakkan. Bagi Rachel, menjadi baik sering kali kurang objektif. Dunia yang penuh ketakutan untuk membuka diri, namun Rachel lebih takut kalau dunianya selamanya akan selalu gelap. Haika...