Sekolah sudah benar-benar sepi, padahal baru pukul sepuluh pagi. KBM hanya terlaksana setengah hari, karena Kepala sekolah kebanggaan SMA Garuda baru saja meninggal. Dari mulai guru sampai murid, berbondong-bondong mendatangi rumah almarhum.
Haikal masih berada di sekolah yang benar-benar tak ada siapa-siapa. Mario dan Irham adalah ketua kelas di masing-masing kelasnya, sedangkan Aldi juga ikut karena sangat ikut berduka cita.
Seperti deja vu, setelah sekian lama Haikal bisa kembali menemukan ketenangan. Sama seperti masa Tsanawiyyah, ia selalu sendirian dan dijauhi. Dulu, ia tak peduli. Orang-orang menganggapnya menodai nama baik Pesantren. Kata mereka, Haikal itu buangan orangtuanya. Karena orangtuanya tak bisa mendidik Haikal dengan baik, makanya dibuang ke Pesantren.
Tapi tak apa, karena Haikal juga tak mau berteman dengan mereka, yang menganggapnya begitu. Kalau mereka menganggap begitu, Haikal yang tadinya ingin menjadi baik pun, tidak jadi.
Sedangkan setelah masuk SMA, Haikal punya jaringan pertemanan yang luas. Temannya dari yang paling pendiam di sekolah sampai ketua geng motor juga ada. Bahkan, sepupunya, yang selalu dibanggakan. Dititipkan ke Haikal, supaya tetap baik-baik saja karena tak bisa berkelahi.
Mungkin, memang terasa serba salah. Saat di Tsanawiyyah, tak ada yang ingin menjadi temannya. Dan saat di SMA, terlalu banyak teman, terlalu banyak yang mengenal, dan saking terlalu banyaknya, ia sesak sendiri. Saat pindah pun, Haikal sudah menjadi cukup pendiam, dan orang-orang tetap memberikan perhatian yang terlalu banyak. Kali ini di sekolah, ia sendiri. Penuh ketenangan, di balik kenyataan bahwa Kepala sekolah meninggal.
Sudah sekian lama, apatis adalah Haikal yang sebenarnya. Sudah sekian lama, emosi dalam dirinya mati. Mungkin benar, Haikal harus ke Psikolog atau ke Psikiater?
Tanpa terasa, air matanya berlinang tepat saat langkahnya berhenti di depan ruang Kepala sekolah. Bukan menangis karena kehilangan. Haikal menangis karena bingung, harus bagaimana perasaannya saat mengetahui Kepala sekolahnya meninggal.
"Gaada yang mengesankan, gue harus apa?" tanya Haikal bermonolog, lalu memukul-mukulkan telapak tangannya pada pintu ruang Kepala sekolah.
"Sakitan mana kesepian dan merasakan sakitnya kanker otak, Pak? Kalau boleh, saya ingin ikut hilang. Jauh dari bumi. Karena—"
Haikal menghembuskan nafasnya kasar, lalu berlari menuju motor besarnya berada. Ketenangan dari kesepian itu palsu, hanya bertahan sesaat. Hatinya benar-benar tak bisa dikendalikan.
"Kal, bisa tolongin nggak? Aldo ngamuk lagi, nyari lo. Punya utang ya, lo?"
Haikal mengembuskan nafasnya kasar, ia tahu. Rasa marah yang Aldo tunjukkan cuman topeng kekecewaan yang gak bakalan pernah selesai. Penyesal Aldo, juga penyesalan dirinya. Keterbatasan manusia tidak akan pernah bisa mengubah keputusan sang Pencipta.
Setidaknya, Haikal bersyukur sudah keluar dari lingkaran neraka di SMA Elang. Yang orang pikir bahwa dirinya adalah pahlawan untuk teman-temannya, sebenarnya adalah troublemaker bagi mereka.
"Yon, gue gak mau lagi. Serius, gak akan bisa Yon. Tolong jangan ganggu gue tentang sekolah lama atau sangkut pautin sama Aldo. Jangan juga kasih tahu di mana gue, Yon. Tolong... Kali ini gue cuman minta lo untuk itu dan kalau bisa. Titip maaf buat Aldo dari gue."
"Minta maaf? MAKSUDNYA APAAN HAIKAL?!!"
"Stop Yon!"
"KAL, DENGERIN DULU!!"
---
Sudah satu Minggu, Haikal tidak pulang. Ia tinggal di Leahaus cabang Jagakarsa, Jaksel. Sedangkan SMA Garuda berada di Jakarta pusat. Di sini, Dion tak akan mengganggunya. Karena manajer cabang adalah teman Haikal yang sangat berpihak kepadanya. Menjaga informasi keberadaannya dengan baik.
Adrian, anak manajer pusat Leahaus. Dari sekian kali Haikal berteman, cuman Adrian yang konsisten serius.
"So, apa lagi?" tanya Adrian serius begitu Haikal menyentak pintu mahoni geser dengan kisi-kisi. Di cabang ini, Leahaus mengusung konsep ala jepang di mana hampir setengah bangunannya terbuat dari kayu.
"Lo, kenapa baru bisa ke sini, sih? Adrian, lo serius kan, ngemanage cabang ini?" tanya Haikal sangat tak suka dengan kedatangan Adrian kali ini. Haikal tak suka menunggu.
"Ck, ngomong yang bener."
"Oke. Jadi, Leahaus cabang ini, gimana? Rame? Banyak pelanggannya? Makanannya tetep sesuai SOP pusat atau lo recokin?"
"Bukan recokin, cuman variasiin."
"Ad? Lagi?"
"Nggak, Kal. Gak usah basa-basi lah. Ada apa sih?"
"Hmm, Leahaus cabang ini stabil gak? Apa nggak mau lo, nge-PHK salah satunya?"
"Ckckck, kita bukan orang asing. Nanya gitu bukan lo banget. Dari awal lo gak tertarik sama Leahaus atau apa pun yang ada sangkut-pautnya sama bonyok, kan?"
"Hmm, iya, sih. Gue serius..."
Haikal yang semula berdiri di depan pintu, melangkah kecil ke arah kursi di hadapan meja Adrian. Menatap temannya serius, seakan ingin menambah kesan bahwa memang sangat serius.
"Apaan?!"
"Itu Ad, hmm. Gimana, ya..."
"Apaan sih, gue masih harus bikin propasal ke bokap buat menu spesial di cabang ini. Bisa nggak, gausah kekanak-kanakkan?"
"Oke. Gue pengen jadi barista juga di sini, gabut banget buat seminggu ke depan."
"Sekolah lo kok, libur? Bolos?"
"Enak aja, gara-gara LDK di sekolah gue. Tandanya semua libur."
"Seminggu?"
"Ya, iya, setahu gue. Bingung sih, ngapa lama amat."
"Mau? Gampang. Mas Akmal bakalan seneng di kasih cuti seminggu. Cuman ya, gitu. Laporan ke nyokap lo."
"Nggak! Gue mau main ke sekolah lo aja. Punya bapak lo, berarti gue punya koneksi khusus buat berkeliaran di sana, kan?"
"Iya boleh, tapi... Songong ya, hahah."
"Nomong-ngomong, nama sekolahnya apaan?!!"
"SMA Galuh Cendikia."
"Lo, kenal Aldo?"
---
Hallo, makasih udah mau baca.
Salam,
Thechoconov
Thechoconov
KAMU SEDANG MEMBACA
Refrained
أدب المراهقينRachel Alavda, seseorang yang dulunya terjebak di dunia penuh gertakkan. Bagi Rachel, menjadi baik sering kali kurang objektif. Dunia yang penuh ketakutan untuk membuka diri, namun Rachel lebih takut kalau dunianya selamanya akan selalu gelap. Haika...