11. I want to be a popular girl

7 1 0
                                    

Orang bilang menjadi manusia biasa saja itu tidak apa-apa, perspektif seperti itu sudah Rachel dengar terlalu banyak. Tapi tidak sejalan dengan perspektifnya bahwa hidup seperti manusia biasa yang tidak populer itu monoton, suram, dan membosankan. Karena Rachel sudah menjalani hidupnya yang monoton, dia merasa tidak cukup baik.

Tawaran untuk dikenalkan dengan fotografer terkenal di Ibu kota, Rio Morris, sasaran para selebgram. Dan Rachel yang membayangkan satu kali pemotretan bisa berjuta-juta, dari Aldo, dia bisa mendapatkannya gratis. Mengapa Rachel harus naif? Itu kesempatan bagus untuk menjadi populer. Karena jika berhasil fotonya diabadikan di Instagram milik Rio, kemudian ditandai akun Rachel, dia kira itu semacam salah satu jalan pintas menjadi populer.

Masalahnya, tawaran itu harus melibatkan Haikal. Cowok angkuh, tidak mau ribet, dan menyebalkan. Saat ini Rachel berada di Leahaus menatap Haikal yang kini menjadi barista dadakan sedang mengeksekusi pesanannya. Ini sudah hari ketiga Rachel memesan aromatik kopi yang menjadi tugas Haikal di Leahaus sebrang komplek rumah Neneknya. Kopinya khas dan enak, tetapi bukan alasan Rachel berada di sana.

"Mantan temen lo, Kak Aldo, nyebelin banget. Maksa pengen bisa ketemu sama lo," ucap Rachel setelah menerima pesanan kopinya dan duduk di kursi bar yang letaknya berada di seberang Haikal yang sedang membuat kopi.

"Gue bukan artis, bilangin aja," jawab Haikal tak berminat. Cowok itu kembali mengeksekusi pesanan lain yang datang.

"Artis sekolahan, sih, iya," balas Rachel menatap Haikal serius. "Apa kelebihan seorang Haikal itu? Ganteng, sih. Tapi ketutupan sama sikap sok yang dilakuin terus-terusan, kayak omongannya yang kurang ramah."

"Ooh, artis biasanya sibuk." Haikal menahan tawanya, tak sampai berpikir bahwa Rachel menjawab serius ucapannya. "Jadi, gue nggak ada waktu ketemu orang kayak dia. Lagian, jangan suka ngusik hidup orang. Lo nggak tahu apa-apa."

"Sibuk apaan?"

"Ngelakuin pekerjaan ini, nggak liat?"

"Pekerjaannya nggak wajib. Kenapa harus seakan-akan ini jadi sebuah tuntutan yang membatasi ruang gerak, lo, Kak?"

"Lo orangnya gak bisa basa-basi, ya? Malah nggak ngerti namanya keputusan itu milik pemiliknya. Sampai situ bisa bikin lo berhenti ngomong, nggak?"

"Kenapa nggak mau nemuin Aldo?"

"Karena nggak mau." Haikal mengambil kap kopinya setelah pembuatan aromatik kopi pesanan yang dikerjakaannya selesai. "Gue beneran sibuk ini."

"Disogok sama lima cokelat, mau, nggak?" Haikal menggeleng.

"Kenapa itu penting buat, lo, sih?"

Rachel agak kikuk, dia mau saja menjawab karena imbalan Aldo, dan cowok itu akan berhenti mengganggunya, tetapi sadar diri. Memalukan bahwa Rachel menggunakan segala hal agar dirinya bisa populer. Dipikir-pikir itu merusak harga dirinya.

---

Pintu rumah Haikal dibuka oleh seorang art di rumah itu, membiarkan Rachel masuk dengan sekantong keresek berisi cemilan yang dibelinya setelah memperhitungkan pengeluarannya bulan ini.

Di ruang tengah, Haikal tengah menonton animasi Naruto dengan tangannya memegang buku 'Sasaran Publik Dalam Berbisnis' setebal lima senti. Melihatnya membuat Rachel mual,dan jelas heran.

"Nonton Naruto atau baca buku yang isinya berat?" tanya Rachel spontan.

"Baca buku pas lagi iklan," jawab Haikal dengan tatapan masih melihat animasi kesukaannya.

"Naruto atau Sasuke?"

"Itachi."

"Kok, gitu?"

"Kalau bukan sebagai penggemar animasi ini, kayaknya, lo nggak bakalan ngerti."

"Sesusah itu ngejelasinnya? Kalau tentang publik, seberapa penting, sih, sasaran dalam bisnis itu?"

"Mending baca buku aja supaya lebih ngerti. Setelah baca buku, kalau nggak ngerti, baru boleh nanya."

"Kenapa?"

"Karena percuma ngejelasin sesuatu sama orang yang nggak tahu dasar-dasarnya."

"Gue bilang publik sebagai sasaran bisnis. Apa itu nggak cukup?"

"Nggak. Dan ngapain sok basa-basi? Kemarin nggak gitu, deh."

"Spontan liat orang lagi nonton tapi masih ada buku ditangannya."

"Hmm, jadi apa urusannya ke sini?"

"Ini, ada cemilan buat nemenin nontonnya. Tolong diterima dan pikirkin buat nemuin Aldo."

"Lo lagi nyogok ceritanya?"

"Tadinya mau nyogok, tapi berubah niat. Mending makan cemilan dari pada baca buku berat. Oke, gue bodoh juga malas, tapi kalau lagi nonton hiburan sambil baca buku yang serius, itu terlihat menyedihkan. Bye, udalah."

Rachel kembali ke rumah tanpa mendapatkan yang dia inginkan. Apalagi uangnya terbuang sia-sia. Haikal suka mengolah kata menjadi hal yang menyebalkan. Tapi Rachel juga tidak tahu harus melakukan apalagi besok. Mungkin mencoba membelikan buku berat untuk menyogok Haikal? Tapi sama saja membuat hidup Haikal lebih menyedihkan dengan buku-buku, kasian juga.

---

"Jadi bisnis itu harus sesuai dengan sasaran publiknya, bener, nggak? Misalnya ada pebisnis yang bikin kafe. Karena kafe itu tempat ngongkrong, berarti sasarannya anak remaja sampai dewasa muda. Biasanya yang dateng ke kafe kebanyakan anak SMA sama Kuliahan. Berarti kafe yang dibikin juga harus sesuai sama sasarannya, kan? Seperti punya banyak spot foto kece. Bener, nggak?" tanya Rachel mengikuti langkah Haikal yang baru saja pulang sekolah.

"Lumayan," jawab Haikal datar. Begitu membuka pintu rumah, Haikal langsung menutupnya kembali tanpa menghiraukan ocehan Rachel yang tampak begitu keras untuk mempelajari materinya. Padahal, Rachel itu sama sekali tidak suka belajar kecuali seminggu sebelum ujian.

Menatap nanar pintu yang tertutup, Rachel ingin menangis. Mengapa sulit sekali? Sia-sia uang yang dibelikan kopi dan cemilan. Sia-sia mempelajari sesuatu yang Rachel sendiri mengerti-tidak mengerti. Apakah ini cukup untuk menyatakan bahwa Rachel sudah kalah? Yang pasti Rachel hanya takut diganggu kehidupannya oleh Aldo dari pada kehilangan kesempatan dipotret oleh Rio. Karena Rachel memutuskan untuk berhenti dan tetap menganggap bahwa Haikal sangat menyebalkan.

---

Salam,
Thechoconov

RefrainedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang