6. Sebuah Perbedaan

272 88 118
                                    

.
.
.
☁️
.
.
.

Satu hal yang tidak pernah Ghazira lewatkan setiap malam adalah mendengar pertanyaan Ghaza tentang apa yang dilakukannya hari ini, "Hari ini kamu ngapain aja?"

Pertanyaan sederhana itu hampir ia dengar setiap malam. Namun alih-alih menjawabnya, Ghazi malah meminta Ghaza menceritakan tentang kegiatan sehari-hari laki-laki itu di sekolah sembari menikmati wafer nabati coklat yang tinggal setengah toples lagi.

Dari cerita Ghaza, ia hampir hafal tabiat teman-teman kakaknya itu walaupun ia tidak pernah bertemu. Seperti tentang kelakuan siswa bernama Chandra dekaka yang selalu menggelar konser di kelas, atau tentang ketua kelas yang hobinya ngegas setiap kali Chandra atau Gia berbuat onar. Tak ada lagi memang selain mereka berdua yang membuat ketua kelas mendadak darting.

Terkadang, Ghazira merasa iri dengan Ghaza yang diizinkan untuk sekolah di SMA umum alih-alih di pesantren seperti dirinya. Tapi ia tahu, ummi nya menginginkan yang terbaik untuknya.

Tiga hari lagi ia akan kembali ke pesantren, ia yakin ia akan merindukan cerita sekaligus nasihat dari kakaknya itu. Oleh karenanya malam ini, ia siap sedia duduk di ruang tengah untuk sekedar mendengarkan segala penuturan Ghaza. Laki-laki itu memang telah lama menjadi inspirasi untuk hidupnya setelah Abi, Ghazira selalu bangga memiliki kakak seperti Ghaza. Tapi, Ghaza pernah bilang, kalau tidak semua laki-laki sebaik dirinya, maka tidak pernah bosan Ghaza mengingatkan agar selalu hati-hati dengan laki-laki di luar sana.

"Tiga hari lagi kamu kembali ke pesantren kan? Kakak minta kamu jaga diri baik-baik. Belajar yang rajin, dan kalau ada laki-laki yang ngerdusin kamu, suruh dia menghadap kakak, jangan pernah berani-berani pacaran, tugas kamu sekarang ini menuntut ilmu. Paham kan?"

Pernah Ghazira bertanya, sebenarnya Ghaza itu umur berapa, dan apa benar dia kembarannya? Pasalnya, sikap Ghaza itu sangat dewasa. Padahal sebetulnya ia tidak keberatan kalau Ghaza bersikap kekanak-kanakan di depannya, toh sedari kecil mereka bersama.

Namun, pertanyaan itu terjawab sudah ketika ia menemukan sosok Abinya dalam diri Ghaza. Ghaza benar-benar berusaha untuk menggantikan peran Abi. Akan tetapi, lebih jauh dari itu, semakin dalam Ghazi melihat Ghaza, semakin ia tahu, bahwa Ghaza masih menyimpan kenangan buruk itu.

Ghazi ingat, dulu ia sempat iri karena Ghaza sangat dekat dengan Abi. Hingga pada suatu hari, Ghaza dimarahi Abi gara-gara ia berkelahi dengan anak tetangga sebelah. Tapi kemudian Ghazi tahu, bahwa kakaknya itu berkelahi demi melindungi dirinya yang hampir dijahili anak itu.

Sampai saat ini, Ghaza akan selalu istimewa di mata Ghazi. Selain karena menyimpan sosok Abi dalam dirinya, laki-laki itu juga selalu menjaganya sepenuh hati. Ia yakin, betapa beruntungnya perempuan yang nanti akan menikah dengannya.

"Kalian belum tidur? Sudah jam 10 loh,"

Dari balik pintu, kepala ummi menyembul hanya untuk mendapati putra dan putrinya yang masih terduduk di ruang tamu. Mereka asyik mengobrol dan membiarkan tv menyala tanpa menontonnya.

"Nanti mi, belum ngantuk," kilah Ghazi.

"Yasudah, ummi tidur duluan ya, jangan lupa matiin tv kalau mau tidur,"

"Siap mi!" jawab keduanya bersamaan.

Selepas ummi menutup pintu, kedua insan itu kembali melanjutkan obrolannya yang kadang ngalor ngidul tanpa ujung. Kali ini, Ghaza bertanya, "Zi, kalau perempuan nangis, biasanya karena apa sih, Zi?"

Jarang sekali Ghaza bertanya tentang perempuan. Ghazi lantas terkekeh mendengarnya.

"Kok? Tumben? Kakak lagi suka sama cewek ya?"

Perindu Langit [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang