9. Rapuh

261 56 53
                                    

"Aku seolah berdiri di tepi jurang yang curam, sedangkan di depanku ada harimau yang siap menerkam. Jika saja ia punya keberanian, aku ingin melangkah maju melawan harimau itu, namun keadaan membuatku mundur perlahan, hingga tak sadar tubuhku telah terperosok jauh ke dalam jurang yang curam."

.
.
.
☁️
.
.
.

Ada kalanya, Gia bertanya pada dirinya sendiri, pada hatinya yang hampa, dan pada langit-langit kamarnya yang redup. Sebetulnya, dari mana ia berasal, untuk apa ia dilahirkan, dan kemana ia akan pergi setelah kehidupan di dunia ini? Nampaknya, pertanyaan itu hanya sekedar menjadi pertanyaan yang terkurung di balik kamar, karena Gia tidak pernah benar-benar mencari tahu jawabannya.

Dan pagi ini. Entah kenapa, pertanyaan itu tiba-tiba saja terbersit lagi di kepalanya. Tentang dari mana ia berasal, untuk apa ia dilahirkan, dan kemana ia akan pergi setelah kehidupan ini?

Gia ingat, dulu waktu kecil, Pak Ustadz di kampung sebelah pernah bilang begini, "Gia, yang menciptakan kamu itu ya jelas Allah, maka Gia harus taat kepada Allah. Kalau kamu tidak taat, maka Allah marah."

Untuk pertanyaan pertama, tentang dari mana ia berasal, Gia mungkin telah menemukan jawabannya--sekedar menemukan belum sampai memahami sebenarnya. Tapi untuk pertanyaan ke dua dan ketiga, Gia belum benar-benar bisa menjawabnya secara mantap. Ia kemudian berpikir, untuk apa dia dilahirkan ke dunia bila harus menanggung beban berat seperti ini? Bahkan, yang melahirkannya ke dunia sudah tidak lagi peduli padanya.

Lagi-lagi, ia menemukan sebuah kebuntuan di ujung fajar. Sudah sedari malam, matanya sama sekali tidak bisa terpejam, hingga akhirnya ia sadar, adzan subuh telah berkumandang.

Agaknya Gia merasa sangat tidak tahu diri. Padahal satu jam lalu ia jelas terbangun, tepatnya pukul empat pagi, selalu seperti itu selama sebulan belakangan. Ia selalu terbangun di jam itu, entah karena nyamuk yang membuat gatal, atau karena selimut yang sudah tidak lagi menutupi tubuhnya hingga dingin menyentuh kulitnya. Ia sempat berpikir, mungkin Allah tengah memberi kode supaya ia bangun lalu mendirikan sholat malam, untuk bersujud kepadanya di tengah dinginnya fajar.

Terkadang, sesederhana itu kode Tuhan pada hamba-Nya. Melalui nyamuk atau melalui angin yang membuat tubuh dingin misalnya. Namun, nampaknya Gia tak sepeka itu pada kode-kode Nya. Ia sadar akan itu. Ia tak cukup peka.

Bukan.

Bukannya ia marah pada Tuhan karena hidupnya menderita seperti ini. Hanya saja, ia belum betul-betul memahami.

Di tengah adzan yang saling bersahutan itu, Gia bangkit dari ranjangnya hanya untuk sekedar menekan jam weker di mejanya yang sebentar lagi akan berbunyi. Sejurus kemudian matanya menangkap buku yang diletakkan tak jauh dari jam weker. Ah, ia bahkan baru ingat, kalau ia belum sama sekali membuka buku pemberian Ghaza dua Minggu lalu.

"Gia! Buka!"

Dari suara ketukannya saja. Gia sudah tahu betul siapa yang memanggilnya. Dery, iya laki-laki itu telah berdiri dengan tatapan nyalangnya saat Gia membuka pintu. Dari tatapan itu, Gia menebak kalau abangnya ini pasti akan membicarakan perihal mobil yang sudah ia tebus.

"Ngapain lo pake nebus mobil gue di si Teno? Gue udah bilang ya sama lo, gak usah lo ikut campur urusan gue!"

Benar dugaan Gia. Tapi Gia tidak pernah menyangka Abangnya akan semarah ini, dan membentak lagi. Jika boleh jujur, bentakkan itu membuat hatinya meringis sakit. Dulu sebelum perceraian itu, Dery tidak pernah sekalipun membentaknya seperti ini.

Gia hanya menghela nafas panjang, tidak niat menjawab atau balik membentak, karena ia tahu semuanya akan sia-sia.

"Sekali lagi, gue minta lo gak usah ikut campur urusan gue! Dan kalau perlu, jangan lagi anggap gue sebagai Abang Lo! Karena gue bukan lagi Abang lo!" entah apa yang ada di pikiran Dery saat ia mengatakan itu di depan adik yang dulu sangat ia sayang, yang pasti ia sedikit terhenyak dengan kalimat nya sendiri sebelum ia melanjutkan, "Gua bukan Abang lo yang dulu lagi!"

Perindu Langit [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang