4. Surat si Perindu Langit

353 104 187
                                    



Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Jika dirasa bebanmu begitu besar, ingatlah Allah yang Maha Besar. Tidak apa-apa kamu menangis, kamu hanya perlu melihat ke belakang, dan lihat kamu telah mampu bertahan sejauh ini."

-Perindu Langit-

.
.
.

☁️
.
.
.

Bagi kebanyakan orang, hari Senin mungkin bisa menjadi hari yang akan membuat bibir yang tersenyum tiba-tiba menciut. Tapi, jangan sama kan dengan laki-laki yang satu ini. Dalam kamus hidup Ghaza, setiap hari adalah hari yang baik. Baginya, cukup mengucap basmalah ketika hendak melakukan sesuatu, maka semangatnya otomatis bangkit.

Tak heran sih, orang-orang mengenalnya sebagai cowok dingin yang pintar, aktif, disukai sekaligus disegani banyak orang. Kalau masalah ketampanan, ini sudah tidak bisa disangkal lagi, Gia pernah bilang kan, wajah Ghaza itu hampir mirip sama anggota boyband Korea, meskipun sampai saat ini Ghaza enggan mengakuinya.

Satu fakta yang mungkin tidak banyak diketahui, bahwa serajin-rajin dan sepintar-pintarnya Ghaza, sesungguhnya Ghaza bukanlah seorang yang ambisius. Ghaza itu sangat apa adanya dan menjalani hidup seadanya pula.

Nilai akademik dan rangking nya boleh jadi selalu yang tertinggi, tapi sebetulnya Ghaza tidak pernah benar-benar berambisi untuk mencapai itu. Bahkan, bisa dibilang dirinya adalah orang tersantai yang pernah ada! Bayangkan saja, saat siswa-siswa sekelasnya uring-uringan karena mengerjakan tugas, Ghaza baru saja memulai mengerjakan tugas itu sehari sebelum deadline. Dan ajaibnya, tugas yang ia kumpulkan selalu menjadi yang terbaik.

Sekali lagi, Ghaza itu apa adanya. Dia tidak pernah banyak permintaan maupun tuntutan, cukup menjalani hidup dengan senyamannya. Asal diridhai Allah dan orang tua, aja lah! Begitu kurang lebih prinsipnya.

Di hari Senin pagi itu, sepanjang koridor menuju kelas masih tampak sepi. Entah para siswa janjian untuk datang terlambat, atau Ghaza yang terlalu pagi datang ke sekolah. Seingatnya, jarum jam di rumahnya tadi sudah pukul setengah tujuh.

Saat kakinya nyaris masuk ke kelas, Ghaza menahan langkahnya sejenak ketika ia mendengar sayup-sayup suara tangisan seseorang. Melalui sela-sela pintu yang tidak sepenuhnya tertutup, ia tahu suara siapa itu.

Hagia Sophia.

Perempuan berambut panjang itu tengah menangis di pojok kelas sana. Sendirian. Terkadang, Ghaza bingung dengan sifat seorang Gia yang selalu terlihat ceria, Ghaza sampai lupa, bahwa Gia juga adalah perempuan yang tidak jauh beda perasaannya dengan perempuan lainnya di muka bumi.

Selama beberapa saat, Ghaza terdiam di balik pintu untuk membiarkan gadis itu menghabiskan tangisnya.

"Ngapain diem di depan pintu Za?"

Perindu Langit [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang